Indonesia
adalah negara kepulauan (arcipe-lago state) yang terberi (given). Sebagai
negara kepulauan dengan jumlah pulau yang banyak serta luas laut yang besar
daripada darat, kaya sumber daya alam, beragam sosial budaya, serta jumlah
penduduk yang besar; tentu di samping memiliki peluang dan harapan bagi masa
depan bangsa dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memiliki tantangan dan
hambatan yang tidak kecil dan ringan dalam mengelola potensi tersebut.Sebagaimana beberapa daerah lain, Maluku
adalah juga wilayah kepulauan yang terberi (given), yang kaya sumber daya alam
maupun sumber daya sosial (sicial capital). Sejak dulu masyarakat Maluku
tinggal dan tersebar di pulau-pulau
besar dan kecil serta membentuk satuan-satuan sosial, membangun kebudayaan dan
norma-norma sosialnya, mengelola alam sekitarnya, saling berinteraksi antar sesama dalam
satu pulau maupun dengan masyarakat di
pulau lain, bahkan dengan kumunitas luar Maluku. Sebagian besar tinggal di
pesisir sebagai nalayan, namun sebagian pula tinggal di pedalaman dan di
pegunungan sebagai petani dan peramu. Ada masyarakat pada wilayah-wilayah
tertentu telah beradaptasi dengan per-kembangan kemajuan, yang proses perubahan
sosialnya cepat (rapit social change), tetapi pada wilayah-wilayah tertentu
masih hidup dalam kondisi yang sederhana dan tradisional serta mengalami
perubahan yang lamban (slow social change).
Sudah banyak yang meneliti dan
mem-pelajari kehidupan komunitas masyarakat di Maluku dengan berbagai latar
belakangnya. Namun masih sedikit atau mungkin
belum secara khusus dan serius memberi
perhatian dan mempelajari serta mengkaji secara mendalam masyarakat Maluku
sebagai sebuah komunitas kepulauan dari aspek sosiologis.Karena itu
tulisan ini mencoba meng-eksplorasi secara teoritis dengan tujuan untuk
menggugah para ilmuan, peneliti dan pemerhati di bidang ilmu-ilmu sosial atau
para sosiolog untuk memberi perhatian khusus melalui kajian-kajian teoritis,
tetapi terutama diharapkan melakukan penelitian-penelitian lapangan (empiris)
menge-nai komunitas masyarakat Maluku sebagai masyarakat kepulauan dengan
berbagai latar-belakang sosial budaya yang dimiliki. Dari kajian-kajian dan
penelitian itu diharapkan akan memberi pemahaman dan gambaran yang lebih
komprehensif dan mendalam tentang karak-teristik masyarakat Maluku sebagai
komunitas kepulauan. Dengan kajian-kajian itu pula dapat menjadi bahan bagi
upaya-upaya pemecahan masalah (problem solving) yang dihadapi mas-yarakat serta
demi meningkatkan kesejahteraan mereka.
Indonesia dan
Maluku Sebagai Wilayah Kepulauan
Indonesia secara geografis
adalah negara kepulauan yang terberi (given) sebagai anuge-rah Tuhan yang kaya
sumber daya alam mau-pun keragaman sosial dan budaya. Indonesia
sebagai negara kepulauan dikonsepsikan seba-gai Wawasan Nusantara. Pengakuan
legal Internasional terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan setelah
ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982. Inti dari
konsepsi itu adalah, Pulau-Pulau Indonesia yang tersebar luas di seluruh
nusantara menjadi satu kesatuan dalam bentuk Negara Kepulauan (Mochtar
Kusumaatmadja, dalam John Pieris (peny),
1988:108).
Sebagai
negara kepulauan (arcipelago state), secara geografis hampir duapertiga
wilayahnya terdiri dari lautan dan lebih dari 13.000 buah pulau besar dan
kecil, dengan garis pantai yang panjangnya hampir 81.000 km. Kepulauan
Indonesia terletak di daerah tropika dan men-duduki posisi silang terletak di
antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudra, Pasifik dan Hindia. Iklim kepulauan Indonesia dipengaruhi
oleh iklim musiman. (John Pieris, ibid : 38-39). Potensi pulau kecil di
Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 buah dari jumlah 17.508 pulau yang
dimiliki oleh Indonesia (H.Tridoyo Kusumastanto, 2003:107).
Kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan karakteristik
dan potensi alam yang sangat kaya baik
darat maupun laut, memiliki peluang untuk dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa
dan kesejahteraan rakyat. Di samping itu
Indonesia juga memiliki karak-teristik sosial budaya yang beraneka ragam,
terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis, bahasa, agama, adat-istiadat, atau sistem
nilai sebagai modal sosial (social capital).
Sebagaimana beberapa daerah lain di Indo-nesia, Maluku juga adalah
daerah kepulauan yang dianugerahi Tuhan dengan potensi alam yang kaya baik darat maupun laut. Sebagai wilayah kepulauan
yang telah terberi (given), dengan luas wilayah 712.497,69 km2 dengan dominasi
laut sebesar 658.294.69 km2 dan daratan 54,85 km2. Jumlah pulau besar dan kecil
sebanyak 632 dengan pulau terbesar adalah pulau Seram (18.625 km2), Pulau Buru
(9.000 km2), Pulau Yamdena ( 5.085 km2), dan Pulau Wetar (3.624 km2). Di
pulau-pulau ini terdapat 4 gunung, 11 danau 113 sungai besar dan kecil. Karena
Maluku merupakan wilayah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan yang luas, maka
iklim di daerah ini sangat dipeng-aruhi oleh lautan dan berlangsung seirama
dengan iklim musiman.
Dengan luas wilayah yang besar itu, Maluku memiliki sumber daya alam
yang sangat poten-sial baik laut maupun darat. Potensi hutan mencakup hutan konvensi seluas ± 13.496 km2 (± 23,8 %), hutan produksi tetap terbatas
seluas ± 5.777 km2 (± 10,2 km2), hutan produksi terbatas seluas ± 13.496 km2, dan untuk peng-gunaan lain
seluas ± 15.468 km2. Potensi pertanian meliputi tanah pertanian seluas ± 2.833.289 km, tanah perkebunan seluas
± 143.489 ha, lahan kering seluas ± 483.836 ha. Lahan yang telah
dikonversi untuk usaha tani tanaman pangan sebesar ± 9.204 ha. Lahan kering
yang sudah dikembangkan seluas ± 17.539
ha (3,6%) untuk komoditi padi, padi gogo, palawija, jagung dan ubi kayu.
Sedang-kan lahan potensial untuk jenis sayuran dan buah-buahan seluas ± 366.935
ha. Tanah perke-bunan seluas ± 143.489 ha.
Potensi laut baik ikan maupun non-ikan sangat kaya. Potensi perikanan terbesar ter-dapat
di laut Banda dengan ketersediaan potensi sebanyak ± 208.558 ton, dan potensi
lestari sebanyak ± 104.209 ton per tahun. Di laut Arafura ketersediaan potensi
sebanyak ± 101.540 ton, dan potensi
lestari sebanyak ± 50.770 ton per tahun.
Pada kawasan laut terbatas terdapat penyebaran ikan berbagai jenis yang menjadi
tumpuan ekonomi perikanan rakyat di samping berbagai potensi ekonomis non-ikan.
Jumlah penduduk Maluku ±
1.277.141 jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 54.185 km2 dengan
kepadatan penduduk ± 23 orang per km persegi. Persebaran penduduk di Maluku
tidak merata, di mana Maluku Tengah prosentase penduduknya tercatat lebih
tinggi dibanding dengan kabupaten lain, yaitu ± 43.15% %. Sementara Kabupaten
Buru hanya mencapai ±10.63 %. Namun untuk Kota Ambon, angka kepadatannya cukup
tinggi, yaitu mencapai ± 619 km2. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.9 %,
sedangkan rasio jenis kelamin (sex ratio) mencapai 1,39 di mana penduduk laki-laki
lebih banyak dari penduduk perempuan. Orientasi pekerjaan penduduk di
Maluku untuk sektor pertanian masih mendominasi sektor lain, yakni ± 47 %,
disusul bidang perdagangan dan jasa sebesar ± 36,13 %, sedangkan sisanya
sebesar ± 16,43 % tersebar dalam
sektor-sektor lain.
Karakteristik
Umum Masyarakat Kepulauan di Maluku
Umumnya masyarakat di daerah kepulauan
memiliki dua orientasi mata pencaharian, yakni sebagai petani dan sebagai
nelayan, kecuali masyarakat pada pedalaman atau pegunungan, hidup mereka
sepenuhnya bergantung pada pertanian atau peramu dan berburu. Masyara-kat pesisir di samping sebagai
nelayan, mereka juga adalah petani ladang yang melakukan usaha pertanian
tanaman umur pendek, seperti ubi kayu/jalar, jagung, padi/padi gogo, karang-kacangan, dan berbagai jenis sayuran
dan lain-lain, juga tanaman umur panjang, seperti kelapa, cengkeh, pala, dan
berbagai jenis tana-man buah-buahan.
Sebagaimana umumnya masyarakat
di Indonesia, masyarakat Maluku sebagian besar masih berciri masyarakat desa,
karena sebagian besar hidup di desa baik di pedalaman/pegu-nungan maupun di
pesisir. Karakteristik mas-yarakat desa menurut Roucek dan Waren, adalah :
· besarnya peranan kelompok primer;
· faktor geografis yang menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok atau asosiasi;
· hubungan atau relasi-relasi sosial bersifat intim dan langgeng;
· masyarakat masih bersifat homogen;
· mobilitas sosial masih rendah;
· keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi;
· populasi anak dalam proporsi yang lebih besar (Raharjo, 2004 : 40. Lihat juga Jefta Leibo, 1990 : 7).
Pedesaan menurut Constandse,
adalah semua wilayah, di mana terdapat bentuk-bentuk kehi-dupan bersama, yang
di satu pihak merupakan bagian daripada suatu kultur, yang di dalamnya termasuk
juga kota-kota, namun di lain pihak karena ketergantungannya pada produksi agra-ris yang sepihak merupakan
sub-kultur, yang jauh kurang berkembang daripada di kota-kota. (P.J.Bouman,
1982:104-105). Sementara menu-rut Ferdinand Tonnies, menye-but masyarakat desa
sebagai Gemeinschaft, sedangkan Charles H.Cooley, menyebutnya sebagai primary
group, Emile Durkheim menyebutnya
sebagai solida-ritas mekanik.
Masyarakat desa pada wilayah
kontinental sangat berbeda dengan
masyarakat desa pada wilayah kepulauan. Sebagaimana telah dikemu-kakan,
masyarakat desa di Maluku memiliki dua karakteristik, yakni karekteristik darat
atau pedalaman/pegunungan dan karakteristik pesi-sir. Orientasi kerja mereka
bergantung pada dua lingkungan tersebut. Sehingga dapat dikatakan mereka adalah
petani tetapi juga nelayan, sebaliknya nelayan tetapi juga petani. Karena di
samping memiliki lahan pertanian yang diusa-hakan untuk kelangsungan hidup, mereka juga
malakukan aktivitas menangkap ikan dan me-miliki peralatan nelayan, yang
kebanyakan diketegorikan masih tradisional. Kecuali mas-yarakat di pegunungan
seperti di pulau Seram dan pulau Buru, sebagian besar adalah peramu dan
berburu. Sistem perladangan masih
berpin-dah-pindah. Sehabis menebang
hutan, kemu-dian dibakar, lalu menanam, serta memanen. Setelah itu
membuka hutan baru dengan pola yang sama. Setelah itu membuka hutan yang lain
atau kembali di hutan yang pertama, begitu seterusnya. Sistem
pertanian ladang seperti ini oleh para ahli memiliki istilah yang beragam
dengan pengertian yang sama, yakni shifting
cultivation, slash and burn
cultivation, slash and burn
horticultura, cut and burn cultivation, land rotation agriculture,
long-term-fallow agriculture, dan swidden
agricultuce. (Johan Iskandar, 2009 : 124-141. Lihat pula Pahmi Sy, 2010 : 62-93).
Sistim perladangan ini memiliki
beberapa keuntungan, yakni : (1) keuntungan ekologis, sosial dan ekonomi bagi
penduduk. Misalnya lebih tahan terhadap serangan hama penyakit,
memberi hasil yang beraneka ragam, seperti bahan pokok pangan, bumbu masak,
bahan sayuran, bahan obat-obatan, dll. Selain itu dapat mengurangi resiko
kegagalan akibat serangan hama atau gangguan alam lainnya. Jika salah satu
produksi mengalami kegagalan namun hasil
lain dapat dipanen; (2) rasio jumlah unsur hara
yang tersimpan dalam bentuk
vegetasi lebih tinggi daripada di dalam
tanah, yang diperoleh dari menebang
hutan dan membakar biomassa yang membuat kesuburan bagi tanah. Saat lahan
tersebut dipanen, kemudian diting-galkan untuk beberapa waktu lamanya dan
membuka lahan baru dengan pola yang sama. Saat kembali di tempat semula, tanah
pada lahan tersebut telah subur kembali karena unsur hara yang diperoleh dari
hasil penebangan dan pembakaran biomassa tersebut; (3) lahan memiliki struktur
yang tertutup seperti hutan tropis. Berbagai jenis tanaman menyusun ladang,
permukaan tanahnya ditutupi oleh jenis-jenis tanaman pada lapisan atasnya terdapat jenis-jenis tanaman semak-semak, seperti ubi jalar, padi,
hanjeli, talas, kacang-kacangan, dll. Bagian kanopi atasnya lagi terdapat tanaman buah-buahan dan kayu
bahan bangunan serta kayu bakar. Di samping itu pula terdapat berbagai jenis
tanaman merambat dan berbagai pepohonan (Johan Iskandar, ibid : 138-139).
Sistem perladangan seperti
yang dikemu-kakan di atas, sebetulnya telah dilakukan oleh masyarakat petani di
Maluku sejak dulu, dan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal (local
wisdom). Di samping beberapa keun-tungan
yang dikemukakan, sebetulnya dari segi keadilan “psiko-eko-biologis”
tanah mesti pula diberi kesempatan untuk beristirahat setelah ia berproduksi.
Ini pula sekaligus sebagai salah satu bentuk alamiah pelestarian lingkungan
secara berkelanjutan.
Sebagaimana diketahui, Maluku memiliki
pulau-pulau dalam gugusan pulau besar
dan kecil dengan potensi alam yang kaya, serta karakteristik masyarakat yang berbeda dengan latarbelakang
sosio-kulturnya yang beragam. Pandangan hidup
(world view) serta watak atau karakter, sikap dan perilaku mereka sangat
dipengaruhi oleh alam. Umumnya hubungan
kekerabatan/kekeluargaan masih sangat kental yang ditandai dengan semangat tolong-meno-long,
kerjasama (gotong royong)) yang tinggi,
yang dikenal dengan istilah masohi, maano, badati, babalu di Maluku Tengah, maren di Maluku Tenggara, tasdouw di MTB, juga ada di pulau Buru
dan MBD dengan sebutan yang berbeda yang maknanya kurang lebih sama. Aktivitas
di laut sebagai nelayan sebagian besar masih tradisional dengan peralatan yang
seder-hana. Bentuk aktivitas nelayan
tradisional di Pulau Ambon dan Lease serta Seram dikenal dengan nama tanase.
Dari segi kedekatan geografis,
kesamaan budaya, kesatuan alam, kecenderungan orien-tasi, kesamaan
perekonomian, dan potensi sumberdaya alam, maka wilayah Maluku dike-lompokkan
dalam 12 satuan gugus pulau, yakni:
1) Gugus pulau pertama, meliputi pulau Buru, Manipa
2) Gugus pulau kedua, Seram Bagian barat, Kelang, Buano
3). Gugus pulau ketiga, Seram Bagian Utara
4). Gugus pulau keempat, Seram Bagian timur, Geser, Gorom, Kep Watubela
5). Gugus pulau kelima, Seram Bagian selatan
6). Gugus pulau keenam, Ambon - lease
7). Gugus pulau ketujuh, Kepulauan Banda
8). Gugus pulau kedelapan, Kepulauan Kei
9). Gugus pulau kesembilan, Kepulauan Aru
10).Gugus pulau kesepuluh, Kepulauan Tanimbar; Yam-dena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Seira, dan Molu;
2) Gugus pulau kedua, Seram Bagian barat, Kelang, Buano
3). Gugus pulau ketiga, Seram Bagian Utara
4). Gugus pulau keempat, Seram Bagian timur, Geser, Gorom, Kep Watubela
5). Gugus pulau kelima, Seram Bagian selatan
6). Gugus pulau keenam, Ambon - lease
7). Gugus pulau ketujuh, Kepulauan Banda
8). Gugus pulau kedelapan, Kepulauan Kei
9). Gugus pulau kesembilan, Kepulauan Aru
10).Gugus pulau kesepuluh, Kepulauan Tanimbar; Yam-dena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Seira, dan Molu;
11).Gugus pulau kesebelas, Kepulauan babar. kep.Luang.
12).Gugus pulau keduabelas, Kepulauan Lemola (Leti, Moa,Lakor), Kisar, Wetar, Romang, Damar, Pulau TNS) (Himpunan Lembaran Daerah ibid, 2002 : 25-28).
12).Gugus pulau keduabelas, Kepulauan Lemola (Leti, Moa,Lakor), Kisar, Wetar, Romang, Damar, Pulau TNS) (Himpunan Lembaran Daerah ibid, 2002 : 25-28).
Pada gugus-gugus pulau tersebut
berdiam masyarakat dengan latarbelakang sosial budaya yang berbeda, bahasa,
orientasi nilai, dan pandangan hidup
(world view) yang dipengaruhi oleh lingkungan alam masing-masing. Masya-rakat
yang berdiam pada gugus-gugus pulau tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua
lingkungan, yakni lingkungan pedalaman/pegu-nungan dan lingkungan pesisir.
Masyarakat pedalaman/pegunungan hidup pada daerah yang jauh dari pesisir,
mereka bermukim di lembah-lembah dan pegunungan, serta hidup dari bertani,
berburu dan meramu. Di Maluku, kategori masyarakat pedalaman dan pegunungan
terdapat di pulau Seram dan pulau Buru, dan sebagian kecil di pulau
Ambon. Sedangkan sebagian besar
masyarakat tinggal di pesisir di semua gugus pulau.
Masyarakat pedalaman atau
pegunungan di Maluku sebagian besar adalah masyarakat petani dengan
karakteristik lingkungan sosial serta sistem sosial budaya yang khas.
Berdasarkan tingkat perkembangan, masyarakat petani terutama petani menetap
dikelompokkan oleh Marzili, yang dikutip Jonni Purba dalam tiga kategori, yakni
: (1) petani pedesaan yang masih hidup dengan cara pertanian yang sangat
sederhana sambil tetap mempertahankan mata pencarian hidup berburu dan meramu
sebagai sumber hidup tambahan. Mereka disebut
seba-gai peladang berpindah. Mereka membuka ladang dari hutan. Ladang mereka
ditanami beberapa kali untuk memenuhi kehidupan konsumsi sehari-hari
(subsistensi). Setelah itu ladangnya ditinggalkan dan membuka ladang baru di
tempat lain. Kategori masyarakat petani ini sebagain besar ada di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, dan kebanyakan ada di pedalaman Kalimantan,
terutama masya-rakat Dayak, masyarakat Mentawai di Sumatera Barat, dan sebagian
besar masyarakat petani di Maluku; (2) masyarakat pertanian di negara-negara
maju seperti di Eropa, Amarika, dan Australia. Masyarakat petani pada
negara-negara ini disebut sebagai farmer.
Mereka hidup di dalam desa-desa modern serta mela-kukan usaha pertanian
dengan peralatan perta-nian yang modern.
Usaha pertaniannya tidak hanya untuk konsumsi sendiri (memenuhi kebutuhan keluarga)
tetapi telah berorientasi pasar untuk mendatangkan keuntungan eko-nomi. Sistem
organisasi yang mendukung usaha pertanian mereka pun telah modern, serta
orientasi usaha mereka diarahkan untuk peng-embangan usaha yang lebih maju; (3)
mas-yarakat petani menetap yang berada di antara masyarakat petani yang pertama
dan kedua. Masyarakat ini tinggal di
desa-desa permanen, namun desa-desa mereka tidak modern seperti desa-desa
masyarakat petani farmer. Mereka juga bukan penggarap ladang kering seperti
ladang berpindah, tapi penggarap sawah dengan sistem irigasi, namun luas sawah
mereka terbatas tidak seperti lahan
pertanian petani farmer. (John Iskandar, ibid : 124-141. Lihat pula,
Frank Cooley dalam Koentjaraningrat, 1984 : 175-177). Berbeda dengan masyarakat
petani pedalaman/pegunungan, masyarakat pe-sisir memiliki dua karakteristik,
mereka di sam-ping sebagai nelayan tetapi juga petani ladang, orientasi dan
pandangan hidup mereka juga dipengaruhi oleh
dua lingkungan alam, yaitu alam laut dan alam darat. Karakter mereka
juga adalah karakter nelayan dan karakter petani. Masyarakat
pesisir secara umum memiliki karakter agak agresif, dinamis, dan agak ter-buka,
sementara masyarakat pedalaman/pegu-nungan memliki sifat agak pasif, kurang
agresif (menunggu), agak tertutup, serta memiliki sensitifitas (perasaan
curiga/was-was) cukup tinggi terhadap orang atau sesuatu dari luar.
Berkaitan dengan masyarakat
kepulauan yang sebagian besar adalah wilayah laut. Bebe-rapa ahli
mengelompokkan masyarakat pesisir di Indonesia ke dalam tiga tipe, yakni : masya-rakat perairan, masyarakat
nelayan, dan mas-yarakat pesisir tradisional.
1). Masyarakat Perairan
Masyarakat perairan memiliki
ciri, sebagai berikut :
● sebagai kesatuan-kesatuan
sosial hidup dari sumber daya
perairan (laut, sungai atau pantai);
● cenderung terasing dari
kontak-kontak de-ngan masyarakat lain;
● lebih banyak berada di
lingkungan perairan dari pada darat;
● berpindah-pindah di suatu wilayah (terito-rial) perairan
tertentu;
● kehidupan sosial mereka
cenderung bersi-fat egaliter;
● hidup dalam kelompok-kelompok
kekera-batan setingkat klein kecil;
2) Masyarakat Nelayan
● umumnya masyarakat nelayan telah ber-mukim secara tetap di daerah-daerah
yang mudah mengalami kontak-kontak dengan masyarakat-masyarakat lain;
● sistem ekonomi mereka tidak dapat lagi dikategorikan masih berada pada
tingkat subsistensi tapi telah berorientasi sistem perdagangan, karena hasil
laut yang mereka peroleh tidak
dikonsumsi sendiri tapi didistribusikan kepada pihak lain dengan imbalan
ekonomi;
● walaupun hidup dengan memanfaatkan sumber daya perairan, namun sebenarnya
mereka lebih banyak menghabiskan kehi-dupan sosial budaya di daratan.
3). Masyarakat Pesisir Tradisional
● masyarakat pesisir seperti ini
berdiam di dekat perairan laut, namun sedikit sekali menggantungkan
kelangsungan hidup dari sumber daya laut;
● mereka kebanyakan hidup dari
peman-faatan sumber daya daratan, baik sebagai pemburu dan peramu ataupun
sebagai petani tanaman pangan ataupun jasa;
● sekalipun sebagian mereka bisa meman-faatkan sumber daya perairan, akan
tetapi jumlahnya sedikit dan nampak sekali lebih mengutamakan kegiatan
subsistensi di daratan;
● dalam kehidupan sehari-hari
nampak sekali mereka lebih menguasai pengetahuan me-ngenai lingkungan darat
daripada perairan, lebih mengembangan kearifan lingkungan darat daripada laut;
Jadi, pada dasarnya masyarakat
pesisir tradi-sional memiliki perbedaan dengan masyarakat nelayan dan perairan
yang memiliki ketergan-tungan hidup sangat besar kepada sumber daya perairan
(Jonny Purba, ibid : 34-38).
Masyarakat desa di Maluku
umumnya ma-sih memiliki hubungan dan relasi-relasi sosial yang dekat, saling mengenal,
serta sistem keke-rabatan yang kental. Sistem sosial masih kuat yang mempertahankan nilai-nilai
dan norma-norma sebagai kontrol sosial terhadap perilaku masyarakat, walaupun
ada kecenderungan yang sudah mulai sedikit nampak terjadi pergeseran akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan tek-nologi, serta proses perkembangan dan
kema-juan pembangunan akibat pemekaran wilayah (otonomisasi) maupun dampak
tidak langsung dari arus globalisasi. Desa-desa di Maluku adalah desa-desa dengan susunan masyarakat asli dan otonom serta terbentuk
secara alamiah sejak dulu. Belakangan sebagian kecil terbentuk karena proses
transmigrasi lokal baik melalui fasilitasi pemerintah daerah maupun spontan/
alamiah, di samping transmigrasi nasional.
Sistem
kekerabatan masih kental. Umum-nya di Maluku garis keturunan mengikuti garis
patrilineal (menurut garis ayah). Sistem perka-winan masih diatur dengan
nilai-nilai adat setempat yang menempatkan perempuan atau wanita pada posisi
yang tinggi, dengan sistem pembayaran harta kawin sebagai bentuk peng-hargaan
terhadap perempuan. Begitupun
dengan sangsi terhadap pelanggaran atas perkawinan, yang kebanyakan pada
masyarakat pedesaan di Maluku masih berlaku sangsi adat di samping sangsi
menurut norma agama yang dianut.
Desa atau yang sejak awal
disebut kampung secara geonologis terbentuk dari adanya “aman” yang terdiri
dari beberapa soa, yang dikepalai oleh seorang ama (bapak atau tuan). Tiap-tiap
soa terdiri dari beberapa matarumah (rumahtau). Dalam perkembangan, aman menjadi
negeri yang dikepalai oleh seorang raja (Maluku Tengah), atau orang kaya
(Maluku Tenggara dan MTB). Sistem sosial ini dikenal luas pada semua masyarakat
di Maluku terutama di desa-desa atau di negeri-negeri. (Frank Cooley, dalam Koentjaraningrat, ibid :
177-181. Ban-dingkan pula: Subyakto, dalam Koentjaraning-rat, 2004 : 175-185).
Sistem pemerintahan desa pada
desa-desa di Maluku, awalnya, secara umum adalah sistem pemerintahan
tradisional (adat). Di Ambon dan Lease misalnya, sistem pemerintahan desa
dikenal dengan nama Saniri Negeri, di mana negeri dipimpin oleh seorang Raja.
Di Maluku Tenggara dan Maluku Tenggara
Barat, dikenal dengan nama Bapak Kaya/Orang Kaya yang memimpin Soa-Soa. Di MBD
sistem pemerin-tahan terbentuk berdasarkan sistem kasta di mana marna merupakan strata teringgi atau
kaum bangsawan yang memerintah. Dalam suatu wilayah hukum adat atau teritori,
secara geografis beberapa desa/kampung dibentuk Latu Pati yang dikepalai oleh
seorang Ketua Latu Pati. Di Kei diketuai oleh seorang Raja dalam sistem Raskap.
Sistem pemerintahan ini tersusun rapih dengan tugas dan fungsi yang jelas dalam
melaksanakan roda pemerintahan desa/negeri, dengan kelembagaan permusyawa-ratan
yang berfungsi dalam proses-proses demokrasi terhadap masalah pembangunan di
desa serta masalah-masalah atau kasus-kasus yang muncul. Namun sistem
pemerintahan tradisional di Maluku tersebut terganggu pada saat Pemerintah Orde
Baru menerapkan Sistem Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun
1979, yang menyeragam-kan (unifikasi)
seluruh desa di Indonesia, yang kemudian melemahkan sistem pemerintahan adat/tradisional. Akibat
penerapan undang-undang tersebut, hingga kini sistem pemerin-tahan desa di
Maluku mengalami dualisme, antara sistem pemerintahan desa secara nasional dan
sistem pemerintahan tradisional, yang dalam praktek sering dilaksanakan secara
bersamaan. Wilayah-wilayah gugus pulau di Maluku sejak dulu telah melaksanakan
aktivitas perdagangan tradisional antar pulau untuk men-jual hasil produksi
pertanian dan perikanan serta barang-barang perabot rumah tangga, peralatan
pertanian, perikanan, sandang maupun kebutuh-an pokok lain. Alat transportasi
yang digunakan masih sederhana, seperti perahu layar (perahu bot) atau kumal
(jenis perahu layar berukuran sedang), yang ditempuh dalam waktu ber-minggu
atau berbulan. Bentuk transaksi dagang baik bersifat langsung maupun tidak
langsung dengan menggunakan alat tukar uang maupun sistem barter (saling
menukar barang).
Aktivitas perdagangan tersebut
tidak hanya terjadi antar pulau dalam satu wilayah, tetapi antar wilayah gugus
pulau, juga antar wilayah lain dalam provinsi. Bahkan dari wilayah lain di luar
provinsi, seperti Sulawesi, Jawa/Madura, dan Sumatera, malah terjadi
perdagangan dari pedagang bangsa Arab, Cina, India, Malaka, dan Eropa (Profil Daerah, Jilid 2 : 561-574.
Lihat pula J. Keuning, 1973 : 21). Aktivitas perdagangan yang memakan waktu
cukup lama dan panjang itu tidak hanya terjadi transaksi dagang tetapi juga
disertai dengan interaksi sosial dan budaya, yang melahirkan ikatan-ikatan
kekerabatan dan sosial, juga terjadi adap-tasi nilai-nilai budaya, dan dalam
hal tertentu meluas kepada hubungan politik.
Masyarakat Maluku adalah
masyarakat yang menganut kepercayaan atau sistem religi sejak belum masuknya
agama-agama besar (Islam dan Kristen). Sistem religi atau keper-cayaan sebelum
masuknya agama-agama besar tersebut, adalah agama suku atau agama asli atau
sering disebut dengan agama tanah, atau animisme. Setelah agama-agama besar
terutama Islam dan Kristen tersebut, banyak penduduk Maluku yang beralih ke
agama-agama tersebut dan meninggalkan agama aslinya. Namun peng-aruh agama asli
oleh sebagian orang Maluku masih sering dipraktekkan dalam kehidupan mereka
yang masih sulit ditinggalkan, malah diwariskan dan dilestarikan. Hal ini
menurut beberapa penulis dari sudut pandang antro-pologi agama disebut sebagai
bentuk ”asimilasi antara agama dan budaya”, atau bentuk ”sinkri-tisme”
(percampuran antara unsur-unsur agama dan budaya), atau disebut sebagai agama
”kue lapis”. Bentuk asimilasi atau sinkritisme ini nampak dari
ungkapan-ungkapan atau panda-ngan dualisme, seperti percaya Tete Manis (Tuhan)
nomor satu dan tete-bapa-nene-moyang (leluhur) nomor dua dalam konsep Upu lanit
(A.N.Radjawane, dalam P.Tanamal, (Tanpa Tahun) : 15-16). Hal ini menunjukkan
penghor-matan kepada leluhur atau arwa nenek moyang. (J. Keuning, 1974 : 13-14.
Bandingkan pula : Subyakto, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, 2004 : 186-188).
Masyarakat Kepulauan di Maluku
memiliki kearifan lokal yang cukup banyak dan beragam sebagai modal sosial
(social capital), seperti pela, gandong, sasi, masohi, badati, maano, sosoki,
kewang, cuci negeri, dan lain-lain di Ambon dan Lease,
Maluku Tengah termasuk SBB dan SBT. Larvul ngabal, ai ni ain, dan sasi di Maluku Tenggara, tasdow, kida bela, dan juga sasi di MTB, kalwedo di MBD, dan
di Buru juga terdapat sasi dan masohi.
Di samping itu terdapat banyak bentuk-bentuk kearifan lokal di berbagai daerah di
Maluku. (Untuk modal
sosial, lihat Robert M.Z. Lawang, 2005. Lihat juga,
John Field, 2010).
Kearifan-kearifan lokal tersebut telah
lama ada dan hidup serta dipelihara oleh masyarakat lokal sebagai bagian dari
sistem sosial yang berfungsi untuk memelihara relasi-relasi sosial, kontrol
sosial, jaminan sosial, serta kohesi
sosial. Kecuali itu ia berfungsi sebagai meka-nisme dan
pengelolaan atau manajemen sosial
untuk mempertahankan keberlangsungan mas-yarakat maupun ekosistem dari
penyimpangan nilai dan norma-norma sosial.
Penutup
Masyarakat Maluku sejak dulu
telah hidup di pulau-pulau, baik di pesisir, pegunungan mau-pun pedalaman, dan
membentuk kebudayaan-nya sendiri, berinteraksi dan membangun sistem nilai dan
norma sosial sebagai pedoman dalam kehidupan mereka. Kebudayaan dan pola-pola
kehidupan sosial, orientasi hidup, pandangan, sikap dan perilakunya, mata
pencaharian serta semua aspek kehidupan
sebagai sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi dengan ling-kungannya
(alam maupun sosial).
Walaupun kebudayaan dan sistem
sosial masyarakat Maluku telah mengalami dinamika perkembangan sebagai hasil
interaksi dengan dunia luar baik di masa sebelum maupun masa kolonialisme, yang
mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan dan sistem sosial tertentu, serta pengaruh
perkembangan pembangunan (moder-nisasi) dan pemerintahan sesudah Indonesia
merdeka hingga sekarang, namun orisinalitas
kebudayaan dan sistem sosialnya masih terjaga dan mewarnai tata kehidupan
masyarakat.
Masyarakat Maluku adalah
masyarakat kepulauan yang khas. Oleh karena itu studi-studi yang mendalam dan
komprehensif, sangat perlu dalam menggali potensi sosial dan budaya yang
dimiliki, akan sangat membantu baik bagi pengembangan ilmu pengetahuan (pure
science) khususnya ilmu-ilmu sosial (baca : sosiologi) maupun kegunaan praktis
(applied science) terutama dalam upaya pemecahan masalah-masalah sosial yang
dihadapi masyarakat serta memberdayakan (empowering) mereka untuk mandiri dan
sejahtera.