Selamat Datang di Beta pung Blog : Kekuatan Komunikasi

Selamat Datang di Beta pung Blog : KEKUATAN KOMUNIKASI

Selasa, 28 Maret 2017

Masyarakat Kepulauan di Maluku



      Indonesia adalah negara kepulauan (arcipe-lago state) yang terberi (given). Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau yang banyak serta luas laut yang besar daripada darat, kaya sumber daya alam, beragam sosial budaya, serta jumlah penduduk yang besar; tentu di samping memiliki peluang dan harapan bagi masa depan bangsa dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memiliki tantangan dan hambatan yang tidak kecil dan ringan dalam mengelola potensi tersebut.Sebagaimana beberapa daerah lain, Maluku adalah juga wilayah kepulauan yang terberi (given), yang kaya sumber daya alam maupun sumber daya sosial (sicial capital). Sejak dulu masyarakat Maluku tinggal dan tersebar di  pulau-pulau besar dan kecil serta membentuk satuan-satuan sosial, membangun kebudayaan dan norma-norma sosialnya, mengelola alam sekitarnya,  saling berinteraksi antar sesama dalam satu  pulau maupun dengan masyarakat di pulau lain, bahkan dengan kumunitas luar Maluku. Sebagian besar tinggal di pesisir sebagai nalayan, namun sebagian pula tinggal di pedalaman dan di pegunungan sebagai petani dan peramu. Ada masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu telah beradaptasi dengan per-kembangan kemajuan, yang proses perubahan sosialnya cepat (rapit social change), tetapi pada wilayah-wilayah tertentu masih hidup dalam kondisi yang sederhana dan tradisional serta mengalami perubahan yang lamban (slow social change).
      Sudah banyak yang meneliti dan mem-pelajari kehidupan komunitas masyarakat di Maluku dengan berbagai latar belakangnya. Namun masih sedikit atau mungkin belum    secara khusus dan serius memberi perhatian dan mempelajari serta mengkaji secara mendalam masyarakat Maluku sebagai sebuah komunitas kepulauan dari aspek sosiologis.Karena itu tulisan ini mencoba meng-eksplorasi secara teoritis dengan tujuan untuk menggugah para ilmuan, peneliti dan pemerhati di bidang ilmu-ilmu sosial atau para sosiolog untuk memberi perhatian khusus melalui kajian-kajian teoritis, tetapi terutama diharapkan melakukan penelitian-penelitian lapangan (empiris) menge-nai komunitas masyarakat Maluku sebagai masyarakat kepulauan dengan berbagai latar-belakang sosial budaya yang dimiliki. Dari kajian-kajian dan penelitian itu diharapkan akan memberi pemahaman dan gambaran yang lebih komprehensif dan mendalam tentang karak-teristik masyarakat Maluku sebagai komunitas kepulauan. Dengan kajian-kajian itu pula dapat menjadi bahan bagi upaya-upaya pemecahan masalah (problem solving) yang dihadapi mas-yarakat serta demi meningkatkan kesejahteraan mereka.

Indonesia dan Maluku Sebagai  Wilayah Kepulauan
               Indonesia secara geografis adalah negara kepulauan yang terberi (given) sebagai anuge-rah Tuhan yang kaya sumber daya alam mau-pun keragaman sosial dan budaya. Indonesia sebagai negara kepulauan dikonsepsikan seba-gai Wawasan Nusantara. Pengakuan legal Internasional terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan setelah ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982. Inti dari konsepsi itu adalah, Pulau-Pulau Indonesia yang tersebar luas di seluruh nusantara menjadi satu kesatuan dalam bentuk Negara Kepulauan (Mochtar Kusumaatmadja, dalam John Pieris  (peny), 1988:108).
               Sebagai negara kepulauan (arcipelago state), secara geografis hampir duapertiga wilayahnya terdiri dari lautan dan lebih dari 13.000 buah pulau besar dan kecil, dengan garis pantai yang panjangnya hampir 81.000 km. Kepulauan Indonesia terletak di daerah tropika dan men-duduki posisi silang terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudra, Pasifik dan  Hindia. Iklim kepulauan Indonesia dipengaruhi oleh iklim musiman. (John Pieris, ibid : 38-39). Potensi pulau kecil di Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 buah dari jumlah 17.508 pulau yang dimiliki oleh Indonesia (H.Tridoyo Kusumastanto, 2003:107).
                 Kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan karakteristik dan  potensi alam yang sangat kaya baik darat maupun laut, memiliki peluang untuk dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa dan kesejahteraan  rakyat. Di samping itu Indonesia juga memiliki karak-teristik sosial budaya yang beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis, bahasa, agama, adat-istiadat, atau sistem nilai sebagai modal sosial (social capital).          
               Sebagaimana beberapa daerah lain di Indo-nesia, Maluku juga adalah daerah kepulauan yang dianugerahi Tuhan dengan potensi alam yang  kaya baik darat maupun laut. Sebagai wilayah kepulauan yang telah terberi (given), dengan luas wilayah 712.497,69 km2 dengan dominasi laut sebesar 658.294.69 km2 dan daratan 54,85 km2. Jumlah pulau besar dan kecil sebanyak 632 dengan pulau terbesar adalah pulau Seram (18.625 km2), Pulau Buru (9.000 km2), Pulau Yamdena ( 5.085 km2), dan Pulau Wetar (3.624 km2). Di pulau-pulau ini terdapat 4 gunung, 11 danau 113 sungai besar dan kecil. Karena Maluku merupakan wilayah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan yang luas, maka iklim di daerah ini sangat dipeng-aruhi oleh lautan dan berlangsung seirama dengan iklim musiman.
               Dengan luas wilayah yang besar itu, Maluku memiliki sumber daya alam yang sangat poten-sial baik laut maupun darat. Potensi hutan mencakup hutan konvensi seluas ± 13.496  km2 (± 23,8 %), hutan produksi tetap terbatas seluas ± 5.777 km2  (± 10,2 km2), hutan produksi terbatas seluas  ± 13.496 km2, dan untuk peng-gunaan lain seluas ± 15.468 km2. Potensi pertanian meliputi tanah pertanian seluas  ± 2.833.289 km, tanah perkebunan  seluas  ± 143.489 ha, lahan kering seluas ± 483.836 ha. Lahan yang telah dikonversi untuk usaha tani tanaman pangan sebesar ± 9.204 ha. Lahan kering yang sudah dikembangkan  seluas ± 17.539 ha (3,6%) untuk komoditi padi, padi gogo, palawija, jagung dan ubi kayu. Sedang-kan lahan potensial untuk jenis sayuran dan buah-buahan seluas ± 366.935 ha. Tanah perke-bunan seluas ± 143.489 ha.
               Potensi laut baik ikan maupun non-ikan sangat kaya. Potensi perikanan  terbesar ter-dapat di laut Banda dengan ketersediaan potensi sebanyak ± 208.558 ton, dan potensi lestari sebanyak ± 104.209 ton per tahun. Di laut Arafura ketersediaan potensi sebanyak  ± 101.540 ton, dan potensi lestari sebanyak  ± 50.770 ton per tahun. Pada kawasan laut terbatas terdapat penyebaran ikan berbagai jenis yang menjadi tumpuan ekonomi perikanan rakyat di samping berbagai potensi ekonomis non-ikan.
               Jumlah penduduk Maluku ± 1.277.141 jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 54.185 km2 dengan kepadatan penduduk ± 23 orang per km persegi. Persebaran penduduk di Maluku tidak merata, di mana Maluku Tengah prosentase penduduknya tercatat lebih tinggi dibanding dengan kabupaten lain, yaitu ± 43.15% %. Sementara Kabupaten Buru hanya mencapai ±10.63 %. Namun untuk Kota Ambon, angka kepadatannya cukup tinggi, yaitu mencapai ± 619 km2. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.9 %, sedangkan rasio jenis kelamin (sex ratio) mencapai 1,39 di mana penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Orientasi pekerjaan penduduk di Maluku untuk sektor pertanian masih mendominasi sektor lain, yakni ± 47 %, disusul bidang perdagangan dan jasa sebesar ± 36,13 %, sedangkan sisanya sebesar   ± 16,43 % tersebar dalam sektor-sektor lain.

Karakteristik Umum Masyarakat Kepulauan di Maluku
       Umumnya masyarakat di daerah kepulauan memiliki dua orientasi mata pencaharian, yakni sebagai petani dan sebagai nelayan, kecuali masyarakat pada pedalaman atau pegunungan, hidup mereka sepenuhnya bergantung pada pertanian atau peramu dan berburu.  Masyara-kat pesisir di samping sebagai nelayan, mereka juga adalah petani ladang yang melakukan usaha pertanian tanaman umur pendek, seperti ubi kayu/jalar, jagung, padi/padi gogo,  karang-kacangan, dan berbagai jenis sayuran dan lain-lain, juga tanaman umur panjang, seperti kelapa, cengkeh, pala, dan berbagai jenis tana-man buah-buahan.
      Sebagaimana umumnya masyarakat di Indonesia, masyarakat Maluku sebagian besar masih berciri masyarakat desa, karena sebagian besar hidup di desa baik di pedalaman/pegu-nungan maupun di pesisir. Karakteristik mas-yarakat desa menurut Roucek dan Waren, adalah :
·     besarnya peranan kelompok primer;
·     faktor geografis yang menentukan sebagai dasar pembentukan  kelompok atau asosiasi;
·     hubungan atau relasi-relasi sosial bersifat intim dan langgeng;
·     masyarakat masih bersifat homogen;
·     mobilitas sosial masih rendah;
·     keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi;
·     populasi anak dalam proporsi yang lebih besar (Raharjo, 2004 : 40. Lihat juga Jefta Leibo, 1990 : 7).

     Pedesaan menurut Constandse, adalah semua wilayah, di mana terdapat bentuk-bentuk kehi-dupan bersama, yang di satu pihak merupakan bagian daripada suatu kultur, yang di dalamnya termasuk juga kota-kota, namun di lain pihak karena ketergantungannya  pada produksi agra-ris yang sepihak merupakan sub-kultur, yang jauh kurang berkembang daripada di kota-kota. (P.J.Bouman, 1982:104-105). Sementara menu-rut Ferdinand Tonnies, menye-but masyarakat desa sebagai Gemeinschaft, sedangkan Charles H.Cooley, menyebutnya sebagai primary group,  Emile Durkheim menyebutnya sebagai solida-ritas mekanik. 
      Masyarakat desa pada wilayah kontinental  sangat berbeda dengan masyarakat desa pada wilayah kepulauan. Sebagaimana telah dikemu-kakan, masyarakat desa di Maluku memiliki dua karakteristik, yakni karekteristik darat atau pedalaman/pegunungan dan karakteristik pesi-sir. Orientasi kerja mereka bergantung pada dua lingkungan tersebut. Sehingga dapat dikatakan mereka adalah petani tetapi juga nelayan, sebaliknya nelayan tetapi juga petani. Karena di samping  memiliki  lahan pertanian yang diusa-hakan  untuk kelangsungan hidup, mereka juga malakukan aktivitas menangkap ikan dan me-miliki peralatan nelayan, yang kebanyakan diketegorikan masih tradisional. Kecuali mas-yarakat di pegunungan seperti di pulau Seram dan pulau Buru, sebagian besar adalah peramu dan berburu. Sistem perladangan  masih berpin-dah-pindah. Sehabis menebang  hutan, kemu-dian dibakar, lalu menanam, serta memanen. Setelah itu membuka hutan baru dengan pola yang sama. Setelah itu membuka hutan yang lain atau kembali di hutan yang pertama, begitu seterusnya. Sistem pertanian ladang seperti ini oleh para ahli memiliki istilah yang beragam dengan pengertian yang sama, yakni shifting cultivation, slash and burn cultivation, slash and burn horticultura, cut and burn cultivation, land rotation agriculture, long-term-fallow agriculture, dan swidden agricultuce. (Johan Iskandar, 2009 :  124-141. Lihat pula Pahmi Sy, 2010 : 62-93).
      Sistim perladangan ini memiliki beberapa keuntungan, yakni : (1) keuntungan ekologis, sosial dan ekonomi bagi penduduk. Misalnya lebih tahan terhadap serangan hama penyakit, memberi hasil yang beraneka ragam, seperti bahan pokok pangan, bumbu masak, bahan sayuran, bahan obat-obatan, dll. Selain itu dapat mengurangi resiko kegagalan akibat serangan hama atau gangguan alam lainnya. Jika salah satu produksi mengalami kegagalan  namun hasil lain dapat dipanen; (2) rasio jumlah unsur hara  yang tersimpan  dalam bentuk vegetasi  lebih tinggi daripada di dalam tanah,  yang diperoleh dari menebang hutan dan membakar biomassa yang membuat kesuburan bagi tanah. Saat lahan tersebut dipanen, kemudian diting-galkan untuk beberapa waktu lamanya dan membuka lahan baru dengan pola yang sama. Saat kembali di tempat semula, tanah pada lahan tersebut telah subur kembali karena unsur hara yang diperoleh dari hasil penebangan dan pembakaran biomassa tersebut; (3) lahan memiliki struktur yang tertutup seperti hutan tropis. Berbagai jenis tanaman menyusun ladang, permukaan tanahnya ditutupi oleh jenis-jenis tanaman pada lapisan atasnya  terdapat jenis-jenis tanaman  semak-semak, seperti ubi jalar,  padi,  hanjeli, talas, kacang-kacangan, dll. Bagian kanopi atasnya  lagi terdapat tanaman buah-buahan dan kayu bahan bangunan serta kayu bakar. Di samping itu pula terdapat berbagai jenis tanaman merambat dan berbagai pepohonan (Johan Iskandar, ibid : 138-139).
       Sistem perladangan seperti yang dikemu-kakan di atas, sebetulnya telah dilakukan oleh masyarakat petani di Maluku sejak dulu, dan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal (local wisdom). Di samping beberapa keun-tungan  yang dikemukakan, sebetulnya dari segi keadilan “psiko-eko-biologis” tanah mesti pula diberi kesempatan untuk beristirahat setelah ia berproduksi. Ini pula sekaligus sebagai salah satu bentuk alamiah pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.  
      Sebagaimana diketahui, Maluku memiliki pulau-pulau  dalam gugusan pulau besar dan kecil dengan potensi alam yang kaya, serta karakteristik  masyarakat yang berbeda dengan latarbelakang sosio-kulturnya yang beragam. Pandangan hidup (world view) serta watak atau karakter, sikap dan perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh alam. Umumnya hubungan  kekerabatan/kekeluargaan masih sangat kental yang ditandai  dengan semangat tolong-meno-long, kerjasama  (gotong royong)) yang tinggi, yang dikenal dengan istilah masohi, maano, badati, babalu di Maluku Tengah, maren di Maluku Tenggara, tasdouw di MTB, juga ada di pulau Buru dan MBD dengan sebutan yang berbeda yang maknanya kurang lebih sama. Aktivitas di laut sebagai nelayan sebagian besar masih tradisional dengan peralatan yang seder-hana. Bentuk aktivitas nelayan tradisional di Pulau Ambon dan Lease serta Seram dikenal dengan nama tanase.
      Dari segi kedekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kecenderungan orien-tasi, kesamaan perekonomian, dan potensi sumberdaya alam, maka wilayah Maluku dike-lompokkan dalam 12 satuan gugus pulau, yakni:
   1)   Gugus pulau pertama, meliputi pulau Buru, Manipa
2)   Gugus pulau kedua, Seram Bagian barat, Kelang, Buano
3).  Gugus pulau ketiga, Seram Bagian Utara
4).  Gugus pulau keempat, Seram Bagian timur, Geser, Gorom, Kep Watubela
5).  Gugus pulau kelima, Seram Bagian selatan
6).  Gugus pulau keenam, Ambon - lease
7).  Gugus pulau ketujuh, Kepulauan Banda
8).  Gugus pulau kedelapan, Kepulauan Kei
9).  Gugus pulau kesembilan, Kepulauan Aru
10).Gugus pulau kesepuluh, Kepulauan Tanimbar; Yam-dena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Seira, dan Molu;
     11).Gugus pulau kesebelas, Kepulauan babar. kep.Luang.
12).Gugus pulau keduabelas, Kepulauan Lemola (Leti, Moa,Lakor), Kisar, Wetar, Romang,  Damar, Pulau TNS) (Himpunan Lembaran Daerah ibid, 2002 : 25-28).

      Pada gugus-gugus pulau tersebut berdiam masyarakat dengan latarbelakang sosial budaya yang berbeda, bahasa, orientasi nilai, dan  pandangan hidup (world view) yang dipengaruhi oleh lingkungan alam masing-masing. Masya-rakat yang berdiam pada gugus-gugus pulau tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua lingkungan, yakni lingkungan pedalaman/pegu-nungan dan lingkungan pesisir. Masyarakat pedalaman/pegunungan hidup pada daerah yang jauh dari pesisir, mereka bermukim di lembah-lembah dan pegunungan, serta hidup dari bertani, berburu dan meramu. Di Maluku, kategori masyarakat pedalaman dan pegunungan terdapat di pulau Seram dan pulau Buru, dan sebagian kecil di pulau Ambon.  Sedangkan sebagian besar masyarakat tinggal di pesisir di semua gugus pulau.
      Masyarakat pedalaman atau pegunungan di Maluku sebagian besar adalah masyarakat petani dengan karakteristik lingkungan sosial serta sistem sosial budaya yang khas. Berdasarkan tingkat perkembangan, masyarakat petani terutama petani menetap dikelompokkan oleh Marzili, yang dikutip Jonni Purba dalam tiga kategori, yakni : (1) petani pedesaan yang masih hidup dengan cara pertanian yang sangat sederhana sambil tetap mempertahankan mata pencarian hidup berburu dan meramu sebagai sumber hidup tambahan. Mereka disebut seba-gai peladang berpindah. Mereka membuka ladang dari hutan. Ladang mereka ditanami beberapa kali untuk memenuhi kehidupan konsumsi sehari-hari (subsistensi). Setelah itu ladangnya ditinggalkan dan membuka ladang baru di tempat lain. Kategori masyarakat petani ini sebagain besar ada di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dan kebanyakan ada di pedalaman Kalimantan, terutama masya-rakat Dayak, masyarakat Mentawai di Sumatera Barat, dan sebagian besar masyarakat petani di Maluku; (2) masyarakat pertanian di negara-negara maju seperti di Eropa, Amarika, dan Australia. Masyarakat petani pada negara-negara ini disebut sebagai farmer. Mereka hidup di dalam desa-desa modern serta mela-kukan usaha pertanian dengan  peralatan perta-nian yang modern. Usaha pertaniannya tidak hanya untuk konsumsi sendiri (memenuhi kebutuhan keluarga) tetapi telah berorientasi pasar untuk mendatangkan keuntungan eko-nomi. Sistem organisasi yang mendukung usaha pertanian mereka pun telah modern, serta orientasi usaha mereka diarahkan untuk peng-embangan usaha yang lebih maju; (3) mas-yarakat petani menetap yang berada di antara masyarakat petani yang pertama dan kedua.  Masyarakat ini tinggal di desa-desa permanen, namun desa-desa mereka tidak modern seperti desa-desa masyarakat petani farmer. Mereka juga bukan penggarap ladang kering seperti ladang berpindah, tapi penggarap sawah dengan sistem irigasi, namun luas sawah mereka terbatas tidak seperti lahan  pertanian petani farmer. (John Iskandar, ibid : 124-141. Lihat pula, Frank Cooley dalam Koentjaraningrat, 1984 : 175-177). Berbeda dengan masyarakat petani pedalaman/pegunungan, masyarakat pe-sisir memiliki dua karakteristik, mereka di sam-ping sebagai nelayan tetapi juga petani ladang, orientasi dan pandangan hidup mereka juga dipengaruhi oleh  dua lingkungan alam, yaitu alam laut dan alam darat. Karakter mereka juga adalah karakter nelayan dan karakter petani. Masyarakat pesisir secara umum memiliki karakter agak agresif, dinamis, dan agak ter-buka, sementara masyarakat pedalaman/pegu-nungan memliki sifat agak pasif, kurang agresif (menunggu), agak tertutup, serta memiliki sensitifitas (perasaan curiga/was-was) cukup tinggi terhadap orang atau sesuatu dari luar.  
      Berkaitan dengan masyarakat kepulauan yang sebagian besar adalah wilayah laut. Bebe-rapa ahli mengelompokkan masyarakat pesisir di Indonesia ke dalam tiga tipe,  yakni : masya-rakat perairan, masyarakat nelayan, dan mas-yarakat pesisir tradisional.
  
         1). Masyarakat Perairan
         Masyarakat perairan memiliki ciri, sebagai  berikut :
● sebagai kesatuan-kesatuan sosial hidup dari  sumber daya perairan  (laut, sungai atau pantai);
● cenderung terasing dari kontak-kontak de-ngan masyarakat lain;
● lebih banyak berada di lingkungan perairan dari pada darat;
● berpindah-pindah  di suatu wilayah (terito-rial) perairan tertentu;
● kehidupan sosial mereka cenderung bersi-fat egaliter;
● hidup dalam kelompok-kelompok kekera-batan setingkat klein kecil; 

2) Masyarakat Nelayan
● umumnya masyarakat nelayan telah ber-mukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah mengalami kontak-kontak dengan masyarakat-masyarakat lain;
● sistem ekonomi mereka tidak dapat lagi dikategorikan masih berada pada tingkat subsistensi tapi telah berorientasi sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh  tidak dikonsumsi sendiri tapi didistribusikan kepada pihak lain dengan imbalan ekonomi;
● walaupun hidup dengan memanfaatkan sumber daya perairan, namun sebenarnya mereka lebih banyak menghabiskan kehi-dupan sosial budaya di daratan.

3). Masyarakat  Pesisir Tradisional
● masyarakat pesisir seperti ini berdiam di dekat perairan laut, namun sedikit sekali menggantungkan kelangsungan hidup dari sumber daya laut;
● mereka kebanyakan hidup dari peman-faatan sumber daya daratan, baik sebagai pemburu dan peramu ataupun sebagai petani tanaman pangan ataupun jasa;
● sekalipun sebagian mereka bisa meman-faatkan sumber daya perairan, akan tetapi jumlahnya sedikit dan nampak sekali lebih mengutamakan kegiatan subsistensi di daratan;
● dalam kehidupan sehari-hari nampak sekali mereka lebih menguasai pengetahuan me-ngenai lingkungan darat daripada perairan, lebih mengembangan kearifan lingkungan  darat daripada laut;
     Jadi, pada dasarnya masyarakat pesisir tradi-sional memiliki perbedaan dengan masyarakat nelayan dan perairan yang memiliki ketergan-tungan hidup sangat besar kepada sumber daya  perairan  (Jonny Purba, ibid : 34-38).     
      Masyarakat desa di Maluku umumnya ma-sih memiliki hubungan dan relasi-relasi sosial yang dekat, saling mengenal, serta sistem keke-rabatan yang kental. Sistem sosial  masih kuat yang mempertahankan nilai-nilai dan norma-norma sebagai kontrol sosial terhadap perilaku masyarakat, walaupun ada kecenderungan yang sudah mulai sedikit nampak terjadi pergeseran akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tek-nologi, serta proses perkembangan dan kema-juan pembangunan akibat pemekaran wilayah (otonomisasi) maupun dampak tidak langsung dari arus globalisasi. Desa-desa di Maluku  adalah desa-desa dengan susunan  masyarakat asli dan otonom serta terbentuk secara alamiah sejak dulu. Belakangan sebagian kecil terbentuk karena proses transmigrasi lokal baik melalui fasilitasi pemerintah daerah maupun spontan/ alamiah, di samping transmigrasi nasional.
       Sistem kekerabatan masih kental. Umum-nya di Maluku garis keturunan mengikuti garis patrilineal (menurut garis ayah). Sistem perka-winan masih diatur dengan nilai-nilai adat setempat yang menempatkan perempuan atau wanita pada posisi yang tinggi, dengan sistem pembayaran harta kawin sebagai bentuk peng-hargaan terhadap perempuan. Begitupun dengan sangsi terhadap pelanggaran atas perkawinan, yang kebanyakan pada masyarakat pedesaan di Maluku masih berlaku sangsi adat di samping sangsi menurut norma agama yang dianut. 
      Desa atau yang sejak awal disebut kampung secara geonologis terbentuk dari adanya “aman” yang terdiri dari beberapa soa, yang dikepalai oleh seorang ama (bapak atau tuan). Tiap-tiap soa terdiri dari beberapa matarumah (rumahtau). Dalam perkembangan, aman menjadi negeri yang dikepalai oleh seorang raja (Maluku Tengah), atau orang kaya (Maluku Tenggara dan MTB). Sistem sosial ini dikenal luas pada semua masyarakat di Maluku terutama di desa-desa atau di negeri-negeri. (Frank Cooley, dalam Koentjaraningrat, ibid : 177-181. Ban-dingkan pula: Subyakto, dalam Koentjaraning-rat, 2004 : 175-185).
      Sistem pemerintahan desa pada desa-desa di Maluku, awalnya, secara umum adalah sistem pemerintahan tradisional (adat). Di Ambon dan Lease misalnya, sistem pemerintahan desa dikenal dengan nama Saniri Negeri, di mana negeri dipimpin oleh seorang Raja. Di Maluku Tenggara  dan Maluku Tenggara Barat, dikenal dengan nama Bapak Kaya/Orang Kaya yang memimpin Soa-Soa. Di MBD sistem pemerin-tahan terbentuk berdasarkan sistem kasta di mana marna merupakan strata teringgi atau kaum bangsawan yang memerintah. Dalam suatu wilayah hukum adat atau teritori, secara geografis beberapa desa/kampung dibentuk Latu Pati yang dikepalai oleh seorang Ketua Latu Pati. Di Kei diketuai oleh seorang Raja dalam sistem Raskap. Sistem pemerintahan ini tersusun rapih dengan tugas dan fungsi yang jelas dalam melaksanakan roda pemerintahan desa/negeri, dengan kelembagaan permusyawa-ratan yang berfungsi dalam proses-proses demokrasi terhadap masalah pembangunan di desa serta masalah-masalah atau kasus-kasus yang muncul. Namun sistem pemerintahan tradisional di Maluku tersebut terganggu pada saat Pemerintah Orde Baru menerapkan Sistem Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1979, yang menyeragam-kan (unifikasi)  seluruh desa di Indonesia, yang kemudian melemahkan  sistem pemerintahan adat/tradisional. Akibat penerapan undang-undang tersebut, hingga kini sistem pemerin-tahan desa di Maluku mengalami dualisme, antara sistem pemerintahan desa secara nasional dan sistem pemerintahan tradisional, yang dalam praktek sering dilaksanakan secara bersamaan. Wilayah-wilayah gugus pulau di Maluku sejak dulu telah melaksanakan aktivitas perdagangan tradisional antar pulau untuk men-jual hasil produksi pertanian dan perikanan serta barang-barang perabot rumah tangga, peralatan pertanian, perikanan, sandang maupun kebutuh-an pokok lain. Alat transportasi yang digunakan masih sederhana, seperti perahu layar (perahu bot) atau kumal (jenis perahu layar berukuran sedang), yang ditempuh dalam waktu ber-minggu atau berbulan. Bentuk transaksi dagang baik bersifat langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan alat tukar uang maupun sistem barter (saling menukar barang).
     Aktivitas perdagangan tersebut tidak hanya terjadi antar pulau dalam satu wilayah, tetapi antar wilayah gugus pulau, juga antar wilayah lain dalam provinsi. Bahkan dari wilayah lain di luar provinsi, seperti Sulawesi, Jawa/Madura, dan Sumatera, malah terjadi perdagangan dari pedagang bangsa Arab, Cina, India, Malaka, dan  Eropa (Profil Daerah, Jilid 2 : 561-574. Lihat pula J. Keuning, 1973 : 21). Aktivitas perdagangan yang memakan waktu cukup lama dan panjang itu tidak hanya terjadi transaksi dagang tetapi juga disertai dengan interaksi sosial dan budaya, yang melahirkan ikatan-ikatan kekerabatan dan sosial, juga terjadi adap-tasi nilai-nilai budaya, dan dalam hal tertentu meluas kepada hubungan politik.
       Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang menganut kepercayaan atau sistem religi sejak belum masuknya agama-agama besar (Islam dan Kristen). Sistem religi atau keper-cayaan sebelum masuknya agama-agama besar tersebut, adalah agama suku atau agama asli atau sering disebut dengan agama tanah, atau animisme. Setelah agama-agama besar terutama Islam dan Kristen tersebut, banyak penduduk Maluku yang beralih ke agama-agama tersebut dan meninggalkan agama aslinya. Namun peng-aruh agama asli oleh sebagian orang Maluku masih sering dipraktekkan dalam kehidupan mereka yang masih sulit ditinggalkan, malah diwariskan dan dilestarikan. Hal ini menurut beberapa penulis dari sudut pandang antro-pologi agama disebut sebagai bentuk ”asimilasi antara agama dan budaya”, atau bentuk ”sinkri-tisme” (percampuran antara unsur-unsur agama dan budaya), atau disebut sebagai agama ”kue lapis”. Bentuk asimilasi atau sinkritisme ini nampak dari ungkapan-ungkapan atau panda-ngan dualisme, seperti percaya Tete Manis (Tuhan) nomor satu dan tete-bapa-nene-moyang (leluhur) nomor dua dalam konsep Upu lanit (A.N.Radjawane, dalam P.Tanamal, (Tanpa Tahun) : 15-16). Hal ini menunjukkan penghor-matan kepada leluhur atau arwa nenek moyang. (J. Keuning, 1974 : 13-14. Bandingkan pula : Subyakto, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 2004 : 186-188).       
     Masyarakat Kepulauan di Maluku memiliki kearifan lokal yang cukup banyak dan beragam sebagai modal sosial (social capital), seperti pela, gandong, sasi, masohi, badati, maano, sosoki, kewang,  cuci  negeri, dan lain-lain di Ambon dan Lease, Maluku Tengah termasuk SBB dan SBT. Larvul ngabal, ai ni ain, dan sasi  di Maluku Tenggara, tasdow,  kida bela, dan juga sasi di MTB, kalwedo di MBD,  dan di   Buru juga terdapat sasi dan masohi. Di samping itu terdapat banyak bentuk-bentuk kearifan lokal di berbagai daerah di Maluku.  (Untuk modal sosial, lihat Robert M.Z. Lawang, 2005. Lihat juga, John Field,  2010).
      Kearifan-kearifan lokal tersebut telah lama ada dan hidup serta dipelihara oleh masyarakat lokal sebagai bagian dari sistem sosial yang berfungsi untuk memelihara relasi-relasi sosial, kontrol sosial, jaminan sosial,  serta kohesi sosial. Kecuali itu  ia berfungsi sebagai meka-nisme dan pengelolaan atau manajemen sosial untuk mempertahankan keberlangsungan mas-yarakat maupun ekosistem dari penyimpangan nilai dan norma-norma sosial.
 
Penutup
     Masyarakat Maluku sejak dulu telah hidup di pulau-pulau, baik di pesisir, pegunungan mau-pun pedalaman, dan membentuk kebudayaan-nya sendiri, berinteraksi dan membangun sistem nilai dan norma sosial sebagai pedoman dalam kehidupan mereka. Kebudayaan dan pola-pola kehidupan sosial, orientasi hidup, pandangan, sikap dan perilakunya, mata pencaharian serta  semua aspek kehidupan sebagai sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi dengan ling-kungannya (alam maupun sosial).
      Walaupun  kebudayaan dan sistem sosial masyarakat Maluku telah mengalami dinamika perkembangan sebagai hasil interaksi dengan dunia luar baik di masa sebelum maupun masa kolonialisme, yang mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan dan sistem sosial tertentu, serta pengaruh perkembangan pembangunan (moder-nisasi) dan pemerintahan sesudah Indonesia merdeka hingga sekarang, namun orisinalitas kebudayaan dan sistem sosialnya masih terjaga dan mewarnai tata kehidupan masyarakat.

      Masyarakat Maluku adalah masyarakat kepulauan yang khas. Oleh karena itu studi-studi yang mendalam dan komprehensif, sangat perlu dalam menggali potensi sosial dan budaya yang dimiliki, akan sangat membantu baik bagi pengembangan ilmu pengetahuan (pure science) khususnya ilmu-ilmu sosial (baca : sosiologi) maupun kegunaan praktis (applied science) terutama dalam upaya pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat serta memberdayakan (empowering) mereka untuk mandiri dan sejahtera.