Pengertian Stereotip
Orang
Jawa digambarkan sebagai orang yang halus, menerima apa adanya dan pemaaf,
hingga ketika kaki Orang Jawa diinjak pun mereka akan bilang "maaf, kaki
Anda berdiri di atas kaki saya". Sedangkan orang Batak digambarkan sebagai
pekerja keras, temperamen, dan lugas mengatakan sesuatu sejelas mungkin. Orang
Sumbawa seringkali diidentikkan dengan pola hidup yang konsumtif, sehingga
ketika akan berkunjung ke suatu tempat, maka tempat yang pertama kali ia
rencanakan untuk di kunjungi adalah pusat perbelanjaan, mall dan lain
sebagainya. Cap yang dilekatkan
pada etnis Bima Iain lagi, mental perantau yang dimiliki etnis ini menyebabkan
mereka tersebar di hampir semua daerah. Ini membuat mereka cenderung mencari
kawan atau keluarga yang memiliki latar belakang etnis yang sama saat tiba di
tempat baru. Kegemaran minum kopi sambil bersenda gurau menjadi milik suku
Sasak. Saking gemarnya dengan minuman ini, saat anda berkunjung ke kediaman
atau rumah orang Sasak, maka hampir pasti anda akan menemukan minuman yang
merupakan komoditas primadona negara Brasil ini. Sehingga di mana pun mereka
berada, pastilah tempat minum kopi yang dicari untuk pertama kali. Sekilas, anekdot di atas memberikan
gambaran bahwa manusia dalam menilai orang lain, terutama yang bukan bagian
atau diluar komunitasnya, disadari atau tidak
seringkali terjebak dalam
stereotip dan overgeneralisasi budaya. Inilah
beberapa citra kesukuan yang seringkali menyebabkan terjadinya kekeliruan
pemahaman dalam komunikasi. Dalam lingkup yang lebih luas, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, banyak kita temukan anekdot-anekdot dan sindiran-sindiran,
yang berhubungan dengan adat istiadat, perilaku, gaya hidup, serta cara
berkomunikasi etnis tertentu. Orang Jawa Solo seringkali diidentikkan
dengan kelemah lembutan, gaya dan nada bicara yang pelan, meskipun dalam
mengekspresikan kemarahannya. Sehingga apabila ada perlombaan mendorong mobil,
orang Solo akan menjadi suku terlama yang menyelesaikan tugasnya, dan yang akan
menjadi pemenangya adalah orang Ambon, karena kecepatan dan kelugasannya dalam
berhitung. Stereotip sebagai orang pelit seringkali dilekatkan pada saudara
kita yang berlatar belakang etnis Tiong hoa, padahal ini tidak terlepas clari
pola hidup hemat dan suka menabung yang mereka miliki.
























Dalam lingkup komunikasi global, kita
sering menghakimi bahwa orang Barat, bule, baik dari Eropa maupun Amerika,
sebagai manusia yang kurang sopan hanya karena, misalnya ada perbedaan nilai
kesopanan dalam penggunaan tangan kiri dan kanan. Karena dalam budaya Indonesia,
hanya tangan kanan yang boleh digunakan dalam memberikan atau menunjuk sesuatu.
Tangan kiri bisa saja digunakan asal diikuti oleh ungkapan penanda kesopanan,
seperti tabik atau maaf. Ini
semua membawa kita terjebak dalam stereotip, overgeneralisasi, dan prasangka
budaya, yang seringkali menghambat komunikasi dan bisa saja membawa konsekuensi
yang lebih parah, yaitu ketersinggungan. Ka-rena orang tidak serta-merta atau
begitu saja menerima, saat budaya atau gaya hidupnya dikatakan tidak santun
atau kurang patut. Sangat sering sekali kita memberikan penilaian yang salah
tentang orang lain. Padahal dalam memberikan penilaian tersebut seringkali kita
hanya melibatkan kesan, perasaan, dan intuisi subyektifitas semata. Dengan kata
lain, penilaian itu seringkali hanya dengan memakai kacamata budaya atau
perilaku kita sendiri, untuk mengukur dan menilai budaya atau perilaku orang
lain. Sehingga dapat dipastikan penilaian yang kita berikan tersebut tidaklah
obyektif, karena parameter kebenaran yang kita gunakan adalah budaya kita
sendiri. Sehingga apabila kita berbicara mengenai nilai-nilai kesopanan,
norma-norma, patut tidak patut, hal tersebut akan menjadi sangat relatif dalam
wacana kebudayaan. Perbedaan-perbedaan cara memahami
bentuk-bentuk komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, bisa menimbulkan
kesalahpahaman dalam komunikasi lintas budaya. Sehingga tidak jarang pendapat
atau opini kita terhadap suatu budaya atau komunitas tertentu bergerak menjadi
suatu identitas yang menyebabkan terjadinya stereotip. Dengan demikian, definisi
stereotip adalah mengeneralisasikan orang-orang berdasarkan
kategori-kategori tertentu dan tanpa dasar yang jelas (sedikit informasi) dan
membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu
kelompok. Ini sudah merupakan pembentukan stereotip. Stereotip bisa
berkaitan dengan hal positif atau negatif, stereotip bisa benar bisa salah,
stereotip bisa berkaitan dengan individu atau subkelompok. Contoh stereotip:
· Orang
gemuk biasanya malas dan rakus.
·
Orang arab teroris.
· Polisi
selalu bisa disogok dengan uang.
Stereotip
juga digunakan oleh manusia sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri
(sel-defense mechanism) untuk menyembunyikan keterbatasan kita atau untuk
membenarkan perasaan kita yang rapuh tentang superioritas. Sebagai contoh,
stereotip negatif tentang orang Amerika kulit hitam sebenarnya bersumber pada
justifikasi perbudakan orang Amerika kulit putih terhadap orang kulit hitam. Stereotip
dapat membawa ketidakadilan sosial bagi mereka yang menjadi korban, dan jika
ini terjadi, maka
akan memunculkan pertanyaan
terkait etnisitas, Stereotip kadangkala bahkan melebihi pertanyaan seputar
keadilan sosial. Hal ini terkait dengan tendensi yang mengaitkan antara
stereotip dengan persoalan yang bersifat visibel seperti prejudice tentang
kelamin, ras, dan etnis.
Mengapa Muncul Steriotipe ?
Ada sejumlah kondisi dimana
stereotip merupakan hal yang tak dapat dihindarkan (inevitable), yakni:
1. Manusia butuh sesuatu untuk menyederhanakan
realitas kehidupan yang bersifat kompleks.
2. Manusia
butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas (anxiety) kctika berhadapan dengan
sesuatu yang baru, manusia lalu mcnggunakan stereotip.
3. Manusia
butuh cara yang ekonomis untuk membentuk gambaran dari dunia di sekitarnya.
4. Manusia
tidak mungkin mengalami semua kejadian, karenanya manusia mengandalkan
informasi dari pihak lain (media) sebagai jendela dunia. Maka, terjadilah
duplikasi stereotip.


Menurut
Alvin Day, karena sifat manusia yang selalu mencari kesamaan mendasar atas
segala sesuatu tersebut menyebabkan stereotip, dalam kacamata komunikasi,
bukanlah hal yang mengejutkan jika kemudian stereotip beranak pinak dalam
content hiburan dan informasi massal. Stereotip sendiri
merupakan perilaku yang sudah dilakoni oleh manusia sejak zaman purbakala.
Namun stereotip sebagai konsep modern baru digagas oleh Walter Lippmann dalam
tulisannya yang berjudul "public opinion" yang dipublikasikan pada
tahun 1922. Menurut Lippmann, stereotip merupakan cara ekonomis untuk melihat
dunia secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan individu tentu tidak dapat
sekaligus mengalamai dua event yang berbeda dalam tempat yang berbeda secara bersamaan.
Karenanya manusia kemudian menyandarkan pada testimoni orang lain untuk
memperkaya pengetahuannya tentang lingkungan sekitar. Meclia, sudah pasti
merupakan jendela yang sangat penting untuk memberikan pengalaman yang hampir
seperti aslinya sehingga dapat berfungsi sebagai telinga dan mata untuk
mengamati alam dimana kita tidak akan bisa mengalaminya secara langsung. Media,
dengan demikian merupakan katalis (pemercepat) budaya sekaligus pengaruh yang
tak terhindarkan terhadap cara pandang kita akan dunia.







Namun,
Day mengatakan bahwa, bagaimanapun kita tidak boleh membiarkan stercotip yang
tak terhindarkan tersebut kemudian menghalangi kita untuk melawan dan menolak
tindakan yang merusak sendi sosial, sekaligus kebiasaan yang memiliki
konsekuensi yang tidak adil tersebut. Guru besar dalam jurnalisitik Hawaii
University, Tom Brislin, menulis bahwa ketika media menyuguhkan informasi dan
hiburan pada saat itu pula media melakukan transmisi nilai-nilai sosial. Media
menghasilkan stereotip yang berperan besar terhadap pengabdian diskriminasi,
gangguan, kekerasan terhadap kelompok tertentu, dan penggambaran gender dalam
dunia nyata. Pada Sisi Iain adalah
menjadi tanggung jawab praktisi media untuk bisa membedakan antara stereotip
dan dunia nyata. Lippmann mengatakan bahwa, pola-pola stereotip
adalah tidak netral. Karena
stereotip meliputi persepsi personal kita tentang realitas, maka ia sangat
bertanggung jawab terhadap pembentukan perasaan kita. Juga, karena stereotip
merupakan mekanisme pertahanan diri, maka dengannya kita akan merasa aman dalam
posisi kita seperti apa adanya. Pandangan terakhir hendak mengatakan bahwa
stereotip, sebagai proses yang netral, mempunyai peran dalam menjaga kesehatan
jiwa kita.
Di
Amerika misalnya, kerja untuk menyadarkan audiens dari stereotip media telah
menampakkan hasil. Beberapa segmen audiens misalnya suclah bisa bersikap
terhadap tayangan komedi Seinfield di televisi NBC pada tahun 1998. Dalam
episode terakhir diceritakan bahwa tokoh dalam komedi tersebut yakni Jerry,
Elaine, George, dan Kramer terjebak kemacetan karena ada parade Puerto Rican
Day. Kramer lalu melemparkan kembang api ke kerumunan parade tersebut yang
tanpa sengaja lalu mengenai bendera Puerto Riko hingga terbakar. Peserta parade
menjadi marah, lalu mereka mengejar Kramer sementara yang lainnya
menjungkirbalikkan mobil yang mereka naiki. Dalam tayangan berikutnya Kramer,
berkata bahwa kekacauan seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di Puerto
Riko.




Reaksi
dari tayangan kontroversial ini kemudian bermunculan. Manueal Mirabal, Presiden
Koalisi Nasional Puerto Riko, menyebut komedi tersebut sebagai
"unconscionable insult" atau penghinaan yang merendahkan bagi
komunitas Puerto Riko. Tanggapan serupa datang dari Fernando Ferrer, Presiden
New York City cabang Bronx, yang menuduh episode Seinfield tersebut telah
melewati
batas antara humor dan
kefanatikan (bigotry). Menurut Ferrer, adalah termasuk penghinaan ketika
menggambarkan orang yang melakukan kerusuhan dan kekerasan terhadap sebuah
mobil sebagai kejadian yang biasa di Porto Riko. Namun demikian, NBC membela
diri, dengan mengatakan bahwa penayangan tersebut bukanlah dimaksudkan untuk
merusak stereotip etnis tertentu, karena audiens Seinfield pasti mengetahui
bahwa hal tersebut merupakan humor belaka.
Dalam masyarakat egaliter, stereotip
dipandang sebagai sesuatu yang tidak fair. Penggunaan stereotip akan menutup
ruang untuk melihat individu dengan segala keunikan dan kapabilitas
masing-masing. Sedangkan dalam tataran kelompok, penggunaan stereotip akan
menghilangkan hak individu untuk menentukan diri sendiri, di mana hak ini
merupakan nilai dasar dari pembentukan suatu masyarakat. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa stereotip memiliki nilai negatif, yakni:
1. Melanggar
nilai-nilai kemanusiaan, yakni kejujuran dan ketulusan.
2. Tidak
fair, karena meniadakan perbedaan dan potensi individu.
3. Stereotip
mengarahkan pada kebohongan.
4. Stereotip
pada media mengakibatkan audiens berpikiran sempit.

















Namun
demikian, apa yang membuat stereotip merupakan musuh kultural yang susah untuk
dihilangkan adalah kenyataan bahwa kadangkala stereotip memang berdasarkan
kebenaran realita. Dengan bahasa lain, tidak semua stereotip adalah salah. Salah satu
contoh adalah laporan dari Rand Corporation, sebuah rekanan penelitian
Pentagon, yang menggambarkan istri tentara sebagai kumpulan wanita yang
anggotanya memiliki tipikal muda, tidak dewasa, pasangan muda kelas bawah yang
secara finansial susah, dan memiliki kesulitan dalam mengontrol tendensi.