Selamat Datang di Beta pung Blog : Kekuatan Komunikasi

Selamat Datang di Beta pung Blog : KEKUATAN KOMUNIKASI

Rabu, 30 Agustus 2023

STEREOTIP

 

Pengertian Stereotip


    Orang Jawa digambarkan sebagai orang yang halus, menerima apa adanya dan pemaaf, hingga ketika kaki Orang Jawa diinjak pun mereka akan bilang "maaf, kaki Anda berdiri di atas kaki saya". Sedangkan orang Batak digambarkan sebagai pekerja keras, temperamen, dan lugas mengatakan sesuatu sejelas mungkin. Orang Sumbawa seringkali diidentikkan dengan pola hidup yang konsumtif, sehingga ketika akan berkunjung ke suatu tempat, maka tempat yang pertama kali ia rencanakan untuk di kunjungi adalah pusat perbelanjaan, mall dan lain sebagainya. Cap yang dilekatkan pada etnis Bima Iain lagi, mental perantau yang dimiliki etnis ini menyebabkan mereka tersebar di hampir semua daerah. Ini membuat mereka cenderung mencari kawan atau keluarga yang memiliki latar belakang etnis yang sama saat tiba di tempat baru. Kegemaran minum kopi sambil bersenda gurau menjadi milik suku Sasak. Saking gemarnya dengan minuman ini, saat anda berkunjung ke kediaman atau rumah orang Sasak, maka hampir pasti anda akan menemukan minuman yang merupakan komoditas primadona negara Brasil ini. Sehingga di mana pun mereka berada, pastilah tempat minum kopi yang dicari untuk pertama kali. Sekilas, anekdot di atas memberikan gambaran bahwa manusia dalam menilai orang lain, terutama yang bukan bagian atau diluar komunitasnya, disadari atau tidak seringkali terjebak dalam stereotip dan overgeneralisasi budaya.  Inilah beberapa citra kesukuan yang seringkali menyebabkan terjadinya kekeliruan pemahaman dalam komunikasi. Dalam lingkup yang lebih luas, Negara Kesatuan Republik Indonesia, banyak kita temukan anekdot-anekdot dan sindiran-sindiran, yang berhubungan dengan adat istiadat, perilaku, gaya hidup, serta cara berkomunikasi etnis tertentu. Orang Jawa Solo seringkali diidentikkan dengan kelemah lembutan, gaya dan nada bicara yang pelan, meskipun dalam mengekspresikan kemarahannya. Sehingga apabila ada perlombaan mendorong mobil, orang Solo akan menjadi suku terlama yang menyelesaikan tugasnya, dan yang akan menjadi pemenangya adalah orang Ambon, karena kecepatan dan kelugasannya dalam berhitung. Stereotip sebagai orang pelit seringkali dilekatkan pada saudara kita yang berlatar belakang etnis Tiong hoa, padahal ini tidak terlepas clari pola hidup hemat dan suka menabung yang mereka miliki. 

    Dalam lingkup komunikasi global, kita sering menghakimi bahwa orang Barat, bule, baik dari Eropa maupun Amerika, sebagai manusia yang kurang sopan hanya karena, misalnya ada perbedaan nilai kesopanan dalam penggunaan tangan kiri dan kanan. Karena dalam budaya Indonesia, hanya tangan kanan yang boleh digunakan dalam memberikan atau menunjuk sesuatu. Tangan kiri bisa saja digunakan asal diikuti oleh ungkapan penanda kesopanan, seperti tabik atau maaf. Ini semua membawa kita terjebak dalam stereotip, overgeneralisasi, dan prasangka budaya, yang seringkali menghambat komunikasi dan bisa saja membawa konsekuensi yang lebih parah, yaitu ketersinggungan. Ka-rena orang tidak serta-merta atau begitu saja menerima, saat budaya atau gaya hidupnya dikatakan tidak santun atau kurang patut. Sangat sering sekali kita memberikan penilaian yang salah tentang orang lain. Padahal dalam memberikan penilaian tersebut seringkali kita hanya melibatkan kesan, perasaan, dan intuisi subyektifitas semata. Dengan kata lain, penilaian itu seringkali hanya dengan memakai kacamata budaya atau perilaku kita sendiri, untuk mengukur dan menilai budaya atau perilaku orang lain. Sehingga dapat dipastikan penilaian yang kita berikan tersebut tidaklah obyektif, karena parameter kebenaran yang kita gunakan adalah budaya kita sendiri. Sehingga apabila kita berbicara mengenai nilai-nilai kesopanan, norma-norma, patut tidak patut, hal tersebut akan menjadi sangat relatif dalam wacana kebudayaan. Perbedaan-perbedaan cara memahami bentuk-bentuk komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam komunikasi lintas budaya. Sehingga tidak jarang pendapat atau opini kita terhadap suatu budaya atau komunitas tertentu bergerak menjadi suatu identitas yang menyebabkan terjadinya stereotip. Dengan demikian, definisi stereotip adalah mengeneralisasikan orang-orang berdasarkan kategori-kategori tertentu dan tanpa dasar yang jelas (sedikit informasi) dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Ini sudah merupakan pembentukan stereotip. Stereotip bisa berkaitan dengan hal positif atau negatif, stereotip bisa benar bisa salah, stereotip bisa berkaitan dengan individu atau subkelompok. Contoh stereotip:

·       Orang gemuk biasanya malas dan rakus.

·       Orang arab teroris.

·       Polisi selalu bisa disogok dengan uang.

Stereotip juga digunakan oleh manusia sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri (sel-defense mechanism) untuk menyembunyikan keterbatasan kita atau untuk membenarkan perasaan kita yang rapuh tentang superioritas. Sebagai contoh, stereotip negatif tentang orang Amerika kulit hitam sebenarnya bersumber pada justifikasi perbudakan orang Amerika kulit putih terhadap orang kulit hitam. Stereotip dapat membawa ketidakadilan sosial bagi mereka yang menjadi korban, dan jika ini terjadi, maka akan memunculkan pertanyaan terkait etnisitas, Stereotip kadangkala bahkan melebihi pertanyaan seputar keadilan sosial. Hal ini terkait dengan tendensi yang mengaitkan antara stereotip dengan persoalan yang bersifat visibel seperti prejudice tentang kelamin, ras, dan etnis.

 

Mengapa Muncul Steriotipe ?

Ada sejumlah kondisi dimana stereotip merupakan hal yang tak dapat dihindarkan (inevitable), yakni:

 1. Manusia butuh sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat kompleks.

2.   Manusia butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas (anxiety) kctika berhadapan dengan sesuatu yang baru, manusia lalu mcnggunakan stereotip.

3.   Manusia butuh cara yang ekonomis untuk membentuk gambaran dari dunia di sekitarnya.

4.   Manusia tidak mungkin mengalami semua kejadian, karenanya manusia mengandalkan informasi dari pihak lain (media) sebagai jendela dunia. Maka, terjadilah duplikasi stereotip.

 

Menurut Alvin Day, karena sifat manusia yang selalu mencari kesamaan mendasar atas segala sesuatu tersebut menyebabkan stereotip, dalam kacamata komunikasi, bukanlah hal yang mengejutkan jika kemudian stereotip beranak pinak dalam content hiburan dan informasi massal. Stereotip sendiri merupakan perilaku yang sudah dilakoni oleh manusia sejak zaman purbakala. Namun stereotip sebagai konsep modern baru digagas oleh Walter Lippmann dalam tulisannya yang berjudul "public opinion" yang dipublikasikan pada tahun 1922. Menurut Lippmann, stereotip merupakan cara ekonomis untuk melihat dunia secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan individu tentu tidak dapat sekaligus mengalamai dua event yang berbeda dalam tempat yang berbeda secara bersamaan. Karenanya manusia kemudian menyandarkan pada testimoni orang lain untuk memperkaya pengetahuannya tentang lingkungan sekitar. Meclia, sudah pasti merupakan jendela yang sangat penting untuk memberikan pengalaman yang hampir seperti aslinya sehingga dapat berfungsi sebagai telinga dan mata untuk mengamati alam dimana kita tidak akan bisa mengalaminya secara langsung. Media, dengan demikian merupakan katalis (pemercepat) budaya sekaligus pengaruh yang tak terhindarkan terhadap cara pandang kita akan dunia.

    Namun, Day mengatakan bahwa, bagaimanapun kita tidak boleh membiarkan stercotip yang tak terhindarkan tersebut kemudian menghalangi kita untuk melawan dan menolak tindakan yang merusak sendi sosial, sekaligus kebiasaan yang memiliki konsekuensi yang tidak adil tersebut. Guru besar dalam jurnalisitik Hawaii University, Tom Brislin, menulis bahwa ketika media menyuguhkan informasi dan hiburan pada saat itu pula media melakukan transmisi nilai-nilai sosial. Media menghasilkan stereotip yang berperan besar terhadap pengabdian diskriminasi, gangguan, kekerasan terhadap kelompok tertentu, dan penggambaran gender dalam dunia nyata. Pada Sisi Iain adalah menjadi tanggung jawab praktisi media untuk bisa membedakan antara stereotip dan dunia nyata. Lippmann mengatakan bahwa, pola-pola stereotip adalah tidak netral. Karena stereotip meliputi persepsi personal kita tentang realitas, maka ia sangat bertanggung jawab terhadap pembentukan perasaan kita. Juga, karena stereotip merupakan mekanisme pertahanan diri, maka dengannya kita akan merasa aman dalam posisi kita seperti apa adanya. Pandangan terakhir hendak mengatakan bahwa stereotip, sebagai proses yang netral, mempunyai peran dalam menjaga kesehatan jiwa kita.

Di Amerika misalnya, kerja untuk menyadarkan audiens dari stereotip media telah menampakkan hasil. Beberapa segmen audiens misalnya suclah bisa bersikap terhadap tayangan komedi Seinfield di televisi NBC pada tahun 1998. Dalam episode terakhir diceritakan bahwa tokoh dalam komedi tersebut yakni Jerry, Elaine, George, dan Kramer terjebak kemacetan karena ada parade Puerto Rican Day. Kramer lalu melemparkan kembang api ke kerumunan parade tersebut yang tanpa sengaja lalu mengenai bendera Puerto Riko hingga terbakar. Peserta parade menjadi marah, lalu mereka mengejar Kramer sementara yang lainnya menjungkirbalikkan mobil yang mereka naiki. Dalam tayangan berikutnya Kramer, berkata bahwa kekacauan seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di Puerto Riko.

Reaksi dari tayangan kontroversial ini kemudian bermunculan. Manueal Mirabal, Presiden Koalisi Nasional Puerto Riko, menyebut komedi tersebut sebagai "unconscionable insult" atau penghinaan yang merendahkan bagi komunitas Puerto Riko. Tanggapan serupa datang dari Fernando Ferrer, Presiden New York City cabang Bronx, yang menuduh episode Seinfield tersebut telah melewati batas antara humor dan kefanatikan (bigotry). Menurut Ferrer, adalah termasuk penghinaan ketika menggambarkan orang yang melakukan kerusuhan dan kekerasan terhadap sebuah mobil sebagai kejadian yang biasa di Porto Riko. Namun demikian, NBC membela diri, dengan mengatakan bahwa penayangan tersebut bukanlah dimaksudkan untuk merusak stereotip etnis tertentu, karena audiens Seinfield pasti mengetahui bahwa hal tersebut merupakan humor belaka.

Dalam masyarakat egaliter, stereotip dipandang sebagai sesuatu yang tidak fair. Penggunaan stereotip akan menutup ruang untuk melihat individu dengan segala keunikan dan kapabilitas masing-masing. Sedangkan dalam tataran kelompok, penggunaan stereotip akan menghilangkan hak individu untuk menentukan diri sendiri, di mana hak ini merupakan nilai dasar dari pembentukan suatu masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stereotip memiliki nilai negatif, yakni:

1.   Melanggar nilai-nilai kemanusiaan, yakni kejujuran dan ketulusan.

2.   Tidak fair, karena meniadakan perbedaan dan potensi individu.

3.   Stereotip mengarahkan pada kebohongan.

4.   Stereotip pada media mengakibatkan audiens berpikiran sempit.

 

Namun demikian, apa yang membuat stereotip merupakan musuh kultural yang susah untuk dihilangkan adalah kenyataan bahwa kadangkala stereotip memang berdasarkan kebenaran realita. Dengan bahasa lain, tidak  semua stereotip adalah salah. Salah satu contoh adalah laporan dari Rand Corporation, sebuah rekanan penelitian Pentagon, yang menggambarkan istri tentara sebagai kumpulan wanita yang anggotanya memiliki tipikal muda, tidak dewasa, pasangan muda kelas bawah yang secara finansial susah, dan memiliki kesulitan dalam mengontrol tendensi.