A.
Arti
Penting Pers Dalam Komunikasi
Sistem pers
adalah subsistem dari sistem komunikasi. Unsur yang paling penting dalam sistem
pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi
sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau
menolak kebijakan pemerintah. Bahkan , dengan adanya media pula berbagai
inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Inilah peran pentingnya pers. Marshall Mc Luhan menyebutkannya sebagai the extension of man (media
adalah ekstensi manusia). Media adalah perpanjangan dan perluasan dari
kemampuan jasmani dan rohani manusia (F. Rachmadi, 1990). Keinginan, aspirasi,
pendapat, sikap perasaan manusia bisa disebarluaskan melalui pers.
Wilbur Schramm
(1973), tak bisa dipungkiri pula bagi masyarakat, pers bisa dianggap sebagai
pengamat, forum, dan guru (watcher, forum dan teacher). Maksudnya adalah setiap
hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat
untuk masyarakat mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan
nilai-nilai ke masyarakat dari generasi ke generasi.
Pers memiliki
dua sisi kedudukan, yaitu :
·
Sebagai
medium komunikasi yang tertua dibanding medium yang lain.
·
Pers
sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi sosial merupakan bagian integral
dari masyarakat dan bukan merupakan unsur asing atau terpisah (Rachmadi,1990).
Arti penting
pers di Indonesia adalah :
1.
menjadi
salah satu unsur sistem komunikasi. Tidak bekerjanya unsur ini maka akan
mempengaruhi kinerja sistem komunikasi. Pers menjadi perangkai bagian unsur
sistem komunikasi dalam satu kebulatan utuh dan padu (wholism).
2.
tujuan
pers juga menjadi tujuan sistem komunikasi itu sendiri. Jika sistem komunikasi
mempunyai tujuan mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan keputusan, maka
melalui pers semua itu bisa diatasi.
3.
pers
adalah unsur pengolah data, peristiwa, ide atau gabungan ketiganya menjadi
sebuah keluaran atau output ke dalam sistem komunikasi. Artinya, Berbagai
informasi yang diolah lewat media menjadi hasil yang berguna bagi proses
keluaran atau output sistem komunikasi.
B.
Sistem
Pers Indonesia
Fred Siebert,
Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories of The Press
(1963) ada empat kelompok besar teori (sistem) pers, yaitu :
a)
Sistem
Pers Otoriter (authoritarian)
Sistem ini
adalah sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa pemerintahan
absolut. Pers pada sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara atau kerajaan
untuk memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media.
Berbagai kegiatan yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan
raja sangat mutlak.
b)
Sistem
Pers Liberal (libertarian)
Sistem ini
berkembang pada abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan
adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut
aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia akan bisa
mengembangkan pemikirannya secara bak jika diberi kebebasan.
Kebebasan
adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol
pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosan” kebebasan berpikir. Oleh
karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu
mencari kebenaran.
c)
Sistem
Pers Komunis (marxist)
Berkembang
karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada awal abad ke-20.
Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang
diawali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah
atau partai dan menjadi bagian integral dari negara.
d)
Sistem
Pers Tanggung Jawab Sosial
Muncul di
Amerika Serikat pada abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari
libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran
ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat
tentang apa yang diaktualisasikan.
Dari uraian
yang diatas, jika diamati Indonesia termasuk sistem pers tanggung jawab sosial.
Aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas
masyarakat.
C.
Pers
dan Sistem Hukum
Antara pers dan
sistem hukum ada keterkaitan yang erat sekali. Sistem hukum memberi peluang
pers bertindak didalam rambu-rambu yang sudah disepakati sehingga pers berada
pada titik ideal. Tanpa hukum, pers akan berkembang menjadi liberal.
Hukum dapat digunakan
sebagai alat legitimasi pemerintah untuk mengawasi pers. Misalnya Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Bahwa UU pokok Pers pernah mengatur dan menjamin
kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan, namun justru SIUPP (Permenpen No. 01/
Per/ Menpen 1984) menjadi alat membatasi kebebasan. Padahal, kedudukan SIUPP
lebih rendah daripada undang-undang. Justru SIUPP yang dijadikan alat
legitimasi.
Dalam
perkembangannya penilaian atau interpretasi tidak lagi mencerminkan kehidupan
pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab berada di tangan
pemerintah. Maka pasal ini dianggap “arogan” kerena pemerintah bisa secara
sepihak membatalkan SIUPP.
Pada era
Habibie, pemerintah menganggap SIUPP bukan zamannya lagi dan sangat “memperkosa
HAM”. Sehingga SIUPP dicabut. Masa
eforia politik juga tidak menyelesaikan masalah itu. Hubungannya dengan
pemberitaan berkembang menjadi trial by the press (pengadilan oleh pers). Trial
by the press merupakan sebagai berita atau tulisan dengan gambar tertuduh dalam
suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Hal ini melanggar asas
praduga tak bersalah dan menyulitkan tertuduh untuk memperoleh pemeriksaan
pengadilan yang bebas dan tidak berpihak.
Pada saat yang
sama, muncul minimnya self censhorsip media. Dengan kata lain, media lemah
dalam mempertimbangkan pakah pemberitaan itu layak dimunculkan dan sesuai
dengan keinginan masyarakat atau tidak. Ini yang diakibatkan orientasi pasar
media begitu dominan dan mengalahkan sisi idealnya.
D.
Fenomena
Kebebasan Pers Orde Baru
Pers menyandang
atribut yang menyebabkan sering terpojok pada posisi yang dilematis. Disatu
sisi tuntutan masyarakat mengharuskan memotret realitas sosial sehingga pers
berfungsi sebagai alat kontrol. Namun pada posisi lain, sebagai institusi yang
tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pes cenderung tidak vis a vis terhadap
pemerintah. Ini artinya, pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang
menjadi otoritas pemerintah. Inilah yang membuat pers binggung menentukan
pilihan, antara kewajiban moral terhadap masyarakat dan keharusan untuk
mematuhi aturan pemerintah sebagai konsekuensi logis.
Hal demikian
tak ubahnya dengan mendikte pers yang telah kehilangan otonominya. Ibaratnya
sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimanapun juga pers masih punya otonomi, salah
satu kemampuan untuk bertahan hidup ditengah derasnya iklim demokrasi dan
himpitan struktur yang harus ditaati.
Peringatan
pemerintah Orde Baru muncul karena kepedulian pes pada kepentingan masyarakat.
Pers mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai otonomi sendiri,
sebab ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat.
Bagi
masyarakat, pers berfungsi sebagai katarsis. Katarsis adalah kelegaan emosional
setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis.
Akan tetapi di lain pihak terbentur oleh ketidak mampuan untuk lepas dari
keberadaan negara. Akibatnya berkembang teori : pers tunduk pada sistem pers,
sistem pers tunduk pada sistem politik (Meril dan Lowentein dalm Harsono
Suwardi, 1993).
Fakta pertama,
fungsi pers sebagai katarsis adalah melalui mana masyarakat menyalurkan
uneg-unegnya, ketidakpuasan,protes, dan keomentarnya terhadap suatu kejadian.
Jadi ketika masyarakat menginginkan perubahan, pers harus berperan aktif.
Namun, pada posisi lain pes harus bisa berperan dalam menyampaikan
kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat (F. Rachmadi, 1990).
Jadi pers
sebagai katarsis maupun ketundukan pers pada sistem politik memaksa pers
bersifat pasif dan kurang otonom. Karena dijadikan wahana tarik-menarik
kepentingan antara masyarakat dan pemerintah tanpa pers sendiri diberikan
otonomi untuk memilih kebijakan yang diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar