Pertanyaan yang selalu muncul
ketika bertemu orang-orang baru adalah pertanyaan “orang darimana?” Jawaban
yang menunjuk pada wilayah geografis seringkali cukup, namun juga seringkali
tidak memuaskan. Dalam masyarakat multietnis seperti Indonesia, jawaban yang
diharapkan tidak jauh dari asal etnis yang berhubungan dengan kesukuan. Jadi,
pertanyaan “anda orang mana?” sering sama berarti dengan “etnis/suku apa?” Luhut,
ketika ditanya asalnya selalu dijawabnya orang dari Irian (Papua sekarang).
Sebab disanalah ia lahir dan tumbuh besar. Kesana pula ia pulang ke rumah
orangtuanya. Akan tetapi jawabannya itu jarang sekali memuaskan, sebab secara
fisik jelas kelihatan ia tidak termasuk kategori salah satu etnis di Irian. Ia
lebih mirip orang daerah barat Indonesia. Kenyataannya memang demikian, kedua
orangtuanya berasal dari Sumatera Utara. Lalu apakah ia, Luhut, mesti menjawab
orang Batak, halmana akan lebih dipercayai ketimbang menjawab sebagai orang
Irian? Hal ini tentu akan menjadi dilema baginya. Bagaimanapun ia tidak merasa
sebagai orang Batak, ia merasa orang papua. Tapi disisi lain, ia butuh
identitas etnis, minimalnya untuk menjawab pertanyaaan “orang darimana?”
Pertanyaan yang akan selalu mampir dimanapun ia berada.
Pengertian
Etnis
Etnis
atau Kelompok etnis atau juga suku bangsa merupakan golongan manusia yang
kelompoknya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, umumnya dengan dasar
garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari
orang lain dan ciri dari kelompok itu sendiri contohnya kesamaan budaya, agama,
bahasa, prilaku, serta ciri dari biologis. Pengertian Etnis adalah sebuah himpunan manusia (Subkelompok manusia) yang di
persatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur
tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran atau
fungsi tertentu. Karena etnis berkesinambungan dengan suatu budaya. Dan
kebudayaan terbentuk dari sekumpulan orang yang menghasilkan suatu budaya yang
terjadi dari kebiasaan para anggotanya. Demikianlah, identitas etnis
penting di Indonesia. Umumnya orang Indonesia melakukan pengolahan informasi
sosial orang lain berdasarkan skema kognitif berbasis asal etnis. Hal ini
merupakan kewajaran karena Indonesia memang dikontruksi atas sub-sub yang
berupa kelompok etnis. Maka kelompok etnislah yang menjadi salah satu referensi
utama dalam menilai orang, bukannya menurut wilayah secara geografis atau
agama. Terbentuknya etnis dapat dilihat dari :
- Garis keturunan
Anggota sebuah suku
bangsa pada dasarnya ditentukan menurut garis keturunan (patrilinial), seperti
suku batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku minang atau
seperti kebudayaan suku jawa.
Ada juga ditentukan
menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang
muslim, sedangkan orang Serani yang beragama Nasrani (peranakan Portugis
seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia dan sebagainya.
- Suku bangsa campuran
Ada juga suku bangsa
dengan berdasarkan percampuran ras, contohnya orang peranakan yang merupakan
campuran bansa Melayu dengan Tionghoa, orang Indo sebutan campuran bule dengan
bangsa Melayu, orang Mestis untuk campuran Hispanik dengan melayu, orang Mulato
campuran ras Negroid dengan ras Kaukasoid, dan yang lainnya.
Di beberapa negara, misalnya
di Irlandia, agama menjadi dasar kategorisasi utama. Sementara itu di beberapa
negara yang lain, misalnya di Amerika Serikat, Jerman, Dan Perancis, ras yang menjadi kategorisasi utama.
Keterangan asal geografis tidak akan dipertanyakan lebih lanjut hanya jika
seseorang mirip baik secara fisik ataupun perilakunya, dan bahasanya dengan
anggota kelompok etnis pemilik ‘asli’ wilayah geografis itu. Misalnya orang
Minang yang ada di Jawa, mungkin tidak akan dipertanyakan lebih lanjut jika
menjawab sebagai orang Jawa karena orang Minang dan orang Jawa secara fisik
cukup mirip. Akan tetapi akan lain ceritanya kalau orang Bugis mengaku sebagai
orang Irian. Pertanyaan berikutnya pasti akan menyusul untuk meminta kejelasan
asal etnis.
Masyarakat kita memang belum
beranjak dari masyarakat yang ditandai dengan ‘darah’, seperti kasta, keturunan
dan etnis. Saat ini identitas etnis masih merupakan identitas yang penting.
Memang telah mulai terjadi pergeseran dimana masyarakat seksualitas mulai
terbentuk, yakni suatu masyarakat yang ditandai dengan norma, pengetahuan,
kehidupan, makna, disiplin, dan peraturan (Haryatmoko, 2002). Dalam masyarakat
seksualitas, hubungan-hubungan darah menjadi tidak begitu penting lagi sehingga
akan sampai pada suatu tahap dimana identitas etnis mungkin tidak berguna lagi
dan akan ditinggalkan. Akan tetapi mungkin saja identitas etnis malahan semakin
penting kedepan. Munculnya semangat etnis belakangan ini mengarah pada gejala
itu. Artinya, dalam keadaan itu masyarakat seksualitas tidak menjadi kenyataan.
Konsep Etnis (Kesukubangsaan)
Dalam mempelajari hubungan antar etnis dapat di lakukan dengan
melihat kasus-kasus yang terjadi. Terutama bagi etnis yang jarang mengalami
konflik dan bertahan terhadap gesekan yang terjadi. Tujuanya adalah untuk
mengidentifikasi bagaimana cara mereka menghadapi setiap gesekan yang terjadi
tanpa adanya konflik. Menurut Barth,(hasbullah, 2013: 26) kelompok etnis dapat
disebut sebagai suatu unit kebudayaan karena kelompok etnis mempunyai ciri
utama yang penting, yaitu kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama. Dan
ia berasumsi bahwa tiap kelompok etnis mempunyai ciri budayanya sendiri.
Ada 2 hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kelompok-
kelompok etnis dengan ciri-ciri unit budayanya yang khusus ini, yaitu:
kelanggengan unit-unit budaya dan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
unit budaya tersebut. Ada beberapa implikasi ketika melihat kelompok etnis
sebagai unit kebudayaan, yaitu:
- Klasifikasi individu atau kelompok
tertentu dinyatakan sebagai anggota suatu kelompok etnis tertentu
tergantung dari kemampuannya untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok etnis
tersebut.
- Bentuk-bentuk budaya yang tampak
menunjukkan adanya pengaruh ekologi, tetapi bukan berarti ini menunjukkan
bahwa semua itu hanya merupakan bentuk penyesuaian diri terhadap
lingkungan semata-mata.
Namun,
lebih tepat dikatakan bahwa bentuk budaya ini merupakan hasil penyesuaian para
anggota kelompok etnis ketika berhadapan dengan berbagai faktor luar. Seperti
ketika suatu kelompok etnis yang tinggal tersebar di daerah yang mempunyai
lingkungan ekologi bervariasi, akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai
dengan daerah tinggalnya, tetapi tidak mencerminkan orientasi nilai budaya yang
berbeda.
Perbedaan etnis mungkin juga
merupakan determinan perilaku yang lebih penting dibandingkan perbedaan
filsafat hidup yang diyakini dan sistem ekonomi yang dijalankan. Orang-orang
yang jarang mau berperang demi ideologi atau perbedaan aliran politik,
seringkali mau berperang demi bangsa dan etnis (Whelan, 1994). Fenomena ini
telah berlangsung lama dan tetap akan menggema sepanjang zaman. Contoh fenomena
pertikaian antar etnis di Kalimantan beberapa waktu lalu. Mereka mungkin enggan
saling bertikai jika yang berbeda adalah falsafah hidup semata. Akan tetapi
ketika isu yang dikembangkan adalah penyerangan terhadap etnisitas, maka
muncullah semangat perlawanan terhadap etnis lain yang diklaim telah melakukan
penyerangan. Kemudian runtuhnya Uni Sovyet pada era 90-an membuat terbentuknya
banyak negara-negara baru yang hampir semuanya merupakan bangsa etnis. Hal ini
menepiskan anggapan banyak orang bahwa selepas perang dunia II, etnis-etnis
yang ada akan kehilangan identitasnya dan akan menghilang.
Identitas
Etnis
Menurut Phinney dan Alipora
(1990) Identitas etnis adalah sebuah
konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan
(sense of belonging) pada kelompok etnis, evaluasi positif pada kelompok,
berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat
dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu
dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnis
akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan
etnisnya. Jadi, identitas etnis seseorang tidak berhenti ketika orang
ditasbihkan sebagai anggota etnis tertentu melalui bukti ‘darah’. Akan tetapi
identitas itu terbentuk melalui sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat
lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai etnis bugis misalnya, tidak akan
merasa memiliki identitas etnis bugis apabila tidak ada sosialisasi identitas
terhadapnya.
Faktor pendorong terbentuknya identitas etnis
Faktor pendorong terbentuknya identitas etnis
Faktor
mendorong terbentuknya identitas etnis adalah adanya kesamaan sesama anggota etnis
yang terbentuk melalui kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan
kesamaan latar belakang, halmana membuat mereka memiliki kesamaan adat dan
perilaku. Kesamaan-kesamaan itu menumbuhkan perasaan seidentitas (Freedman,
Peplau & Sears, 1999) Mereka merasa bahwa mereka adalah kelompok yang
berbeda dengan kelompok lain karena dalam satu kelompok memiliki
kesamaan-kesamaan yang besar, baik dalam hal bahasa, kebiasaan, adat istiadat,
dan sebagainya. Perasaan seidentitas inilah yang mula-mula memunculkan
identitas etnis. Kesamaan dalam kelompok belum cukup untuk menebalkan identitas
etnis. Dalam proses untuk mengalami perasaan seidentitas, mereka juga
memerlukan kehadiran entitas atau etnis lain sebagai komparasi dan penegas
identitas tersebut. Identitas etnis merupakan hasil dari interaksi sosial.
Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan
menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan
interaksi dengan kelompok lain identitas etnis mereka terbangun, dan semakin
intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya. Identitas etnis sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari
identitas budaya. Identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah sekumpulan ide
tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut
beberapa dimensi.
- Identifikasi
diri
- Pengetahuan
mengenai budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan tingkah laku
- Perasaan
memiliki pada kelompok etnis tertentu.
Menurut Keefe (1992) identitas
etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) Identifikasi etnis sendiri vs kelompok
etnis lain melalui proses kognitif, 2) Derajat keterikatan pada kelompok dan
kebudayaannya yang merupakan elemen afektif. Tatkala seseorang merasa memiliki
identitas etnis, maka ia mengidentifikasi siapa yang menjadi anggota kelompok etnis
sendiri dan siapa yang menjadi anggota kelompok etnis lain. Ia pun
mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnis sendiri dan
kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan emosional tertentu terhadap etnisnya.
Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnis merupakan fenomena objektif dan subjektif (Hocoy, 1996). Fenomena objektif manakala seseorang menegaskan identitas etnisnya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti. Misalnya seorang anak yang memiliki orangtua dengan etnis tertentu maka ia merasa sebagai bagian dari etnis orangtuanya. Identitas etnis merupakan fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etnisnya.
Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnis merupakan fenomena objektif dan subjektif (Hocoy, 1996). Fenomena objektif manakala seseorang menegaskan identitas etnisnya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti. Misalnya seorang anak yang memiliki orangtua dengan etnis tertentu maka ia merasa sebagai bagian dari etnis orangtuanya. Identitas etnis merupakan fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etnisnya.
Seseorang bisa sangat memuja etnisnya,
sementara yang lain bisa jadi tidak memiliki keterikatan yang dalam dengan etnisnya.
Bisa jadi seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnis
tertentu (karena keturunan misalnya), namun menolak untuk memakai etnis itu
sebagai identitasnya. Ada banyak kasus dimana seseorang yang digolongkan
kedalam satu etnis tertentu berdasarkan kriteria darah menolak identitas etnis
yang dilekatkan padanya. Alasannya bisa beragam. Namun ada kecenderungan
penolakan identitas itu berkaitan dengan tidak menguntungkannya identitas asli
yang dimiliki baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam berbagai kerusuhan antar
etnis, banyak orang tidak mau mengakui identitas etnisnya demi alasan keamanan.
Dalam kasus berdarah antara warga etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan,
banyak warga etnis Madura tidak mengaku diri sebagai etnis Madura karena akan
jadi sasaran kemarahan etnis Dayak, demikian pula sebaliknya. Namun saat
bersamaan juga terjadi identitas etnis mereka yang bertikai ditonjolkan begitu
kuatnya ketika terjadi kerusuhan antar etnis sebagai bentuk solidaritas etnis.
Ada fakta yang menarik pada
saat terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan yang melibatkan etnis Dayak
dan etnis Madura. Ternyata konflik antar dua etnis itu juga berakibat
memperkuat identitas etnis lain di daerah tersebut. Banyak bangunan-bangunan,
baik toko, rumah, dan semacamnya diberi label milik orang Bugis, milik orang
Jawa, milik orang Minang dan sebagainya untuk menghindari sasaran penghancuran.
Demikian pula mereka dengan terang-terangan mengumumkan identitas etnis mereka
agar tidak menjadi korban. Jadi, ditengah pertikaian antar etnis penonjolan
identitas etnis bagi etnis yang tidak bertikai menjadi sangat penting demi
keamanan. Terjadi dimana identitas asal etnis yang mungkin telah digantikan
dengan identitas geografis sebagai orang Kalimantan dimunculkan kembali dan
diperkuat. Dalam keadaan damai, penolakan identitas etnis memiliki alasan yang kurang
lebih sama. Banyak warga etnis pendatang di suatu wilayah tertentu menanggalkan
identitas etnisnya lalu melebur diri dan memakai identitas etnis baru. Hal ini
dilakukan agar di terima dalam masyarakat baru, sebab faktor etnis mempengaruhi
penerimaan masyarakat. Kesamaan etnis antara subyek dan obyek penerimaan
diasumsikan akan menyebabkan penerimaan lebih tinggi (Conger, 1973). Akan tetapi
hal ini bukan hal mudah karena biasanya pendatang tetap dianggap sebagai etnis
yang berbeda oleh warga etnis asli meskipun melakukan hal-hal yang sama dengan
warga etnis asli di suatu wilayah.
Secara umum identifikasi
terhadap kelompok etnis mempunyai dua pandangan pengertian; 1) sebagai unit
objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang, 2) sebagai
hasil pemikiran subjektif orang perorang yang kemudian menyatakan diri sebagai
kelompok etnis (Manger, 1994) Perbedaan yang tampak antara dua kelompok etnis,
baik dalam hal tradisi, adat, bahasa, dan lainnya menjadi kriteria objektif
bagi identifikasi kelompok. Akan tetapi perbedaan itu tidak akan menjadi sebuah
identitas kelompok etnis bila masing-masing anggota kelompok tidak mengakui
bahwa mereka berbeda dengan yang lain, dan menegaskan diri mereka sebagai satu
kelompok tersendiri. Sampai disini masih tersisa pertanyaan, bisakah seorang
yang secara ‘darah’ ditasbihkan sebagai etnis tertentu kemudian diakui sebagai
etnis lain pula? Tampaknya hal itu dimungkinkan. Mengadopsi dua indentitas
etnis secara bersamaan adalah sah. Menurut Stephan dan Stephan (1989) nilai
budaya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari oleh siapapun. Maka
sesungguhnya, kendatipun memberikan ciri khas etnis (baca: identitas etnis) ia
cukup terbuka bagi siapapun untuk menginternalisasinya dan memberikan seseorang
identitas etnis. Pendapat ini didasarkan pada fenomena pernikahan antar etnis
dimana kemudian salah satu pihak melebur dan memakai identitas etnis
pasangannya. Demikian juga anak-anak dari perkawinan antar etnis umumnya tetap
dinilai sah bila memakai identitas etnis kedua orangtuanya secara bersamaan.
Perkembangan
Identitas Etnis
Bagaimana seseorang menghayati
identitas etnisnya? Bagaimana seseorang menyadari dan mengakui bahwa ia
memiliki identitas etnis tertentu? Pertanyaan ini terkait dengan proses
seseorang mengadopsi identitas etnis yang dimulai sejak kanak-kanak, remaja,
bahkan hingga dewasa. Identitas etnis dan adanya sikap positif terhadap etnis
sendiri dimunculkan melalui sosialisasi etnis atau ras. Sosialisasi ras atau
etnis itu berlangsung sejak kecil sampai dewasa. Terdapat bukti bahwa anak pada
usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnis.
Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak
berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Mulai dari mengenal kategori etnis
itulah proses sosialisasi etnis dimulai. Sosialisasi etnis adalah proses dimana
orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai identitas etnis mereka dan
tentang hal-hal khusus yang mungkin berguna untuk hidup dalam masyarakat yang
lebih luas, dengan memberikan latar belakang etnis mereka. Sosialisasi etnis
pada etnis minoritas berbeda dengan sosialisasi etnis pada etnis mayoritas
karena pada kelompok minoritas masalah etnisitas dipersepsi jauh lebih penting.
Pencapaian
etnis minoritas ke dalam kelompok etnis mayoritas
Pencapaian identitas etnis
merupakan masalah mendasar yang berkaitan dengan kebanggaan etnisitas seseorang
dengan kelompok etnisnya. Remaja yang sedang mengalami proses pencarian
identitas untuk membentuk konsep diri sangat berkepentingan dalam penelusuran
identitas etnis. Membangun identitas etnis lebih penting bagi remaja kelompok etnis
minoritas daripada kelompok mayoritas. Bagi etnis minoritas kebanggaan terhadap
kelompok etnisnya akan membantu dalam membangun konsep diri yang positif yang
memudahkan mereka dalam bergaul dengan kelompok mayoritas. Akan tetapi tidak
semua remaja bisa menemukan identitas etnis yang positif. Bisa jadi seorang
remaja malu akan identitas etnisnya dan enggan mengakuinya. Menurut Phinney
dalam Steinberg (2002) ada empat hal yang mungkin dilakukan etnis minoritas
dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:
- Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma
budaya mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap
mayoritas bukan sebagai kelompoknya)
- Marginality (hidup bersama budaya mayoritas tetapi
sebagai orang asing dan tidak diterima)
- Separation (memisahkan diri dari budaya
mayoritas dan tetap memakai budaya sendiri)
- Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai
mayoritas dan minoritas secara berbarengan).
Menurut Steinberg (2002)
individu dengan kecenderungan kepribadian tertentu akan memiliki kecenderungan
memiliki identitas etnis dalam kategori tertentu juga. Orang-orang yang
memiliki identitas etnis achieved (achievers) paling sehat secara psikologis
daripada individu dalam kategori lain. Individu dalam kategori ini memiliki
motivasi berprestasi tinggi, penalaran moral yang sehat, memiliki keakraban
dengan teman-teman pergaulan, dan sanggup melakukan refleksi diri atas apa yang
telah diperbuat. Orang yang memiliki identitas etnis moratorium memiliki
kecemasan tinggi dan memiliki kecenderungan untuk melawan atau mencipta konflik
dengan pemegang otoritas, memiliki sikap yang luwes dan paling tidak
otoritarian. Individu yang memiliki identitas etnis diffusion biasanya
bermasalah secara psikologis dan interpersonal, menarik diri dari pergaulan
sosial, dan memiliki level rendah dalam instuisi dengan kelompok pertemanannya
(kurang peka). Sedangkan individu yang memiliki identitas etnis foreclosure
umumnya berkepribadian otoritarian, sangat berprasangka, memiliki kebutuhan
tinggi untuk mendapat persetujuan sosial dan memiliki level rendah akan otonomi
atau sangat tergantung.
Status identitas etnis atau
derajat identifikasi etnis yang dimiliki seseorang tergantung pada banyak hal.
Dua yang terpenting adalah derajat dari homogenitas dan heterogenitas kehidupan
lingkungan tempat tinggal. Semakin homogen masyarakat yang ada di lingkungan
tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnisnya juga semakin rendah
dan semakin heterogen masyarakat di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi
terhadap kelompok etnis semakin tinggi. Dalam masyarakat yang homogen, dalam
hal ini satu etnis, tidak ada kebutuhan untuk menunjukkan identitas kelompok etnisnya
pada orang lain halmana membuat kurang kuatnya identifikasi terhadap kelompok etnis.
Selama ini kita mengira bahwa melalui pendidikan yang diselenggarakan oleh
negara yang muatan pendidikannya lebih bersifat kebangsaan maka keeratan
peserta didik terhadap etnisnya akan berkurang. Akan tetapi ternyata yang
terjadi tidak demikian. Pendidikan memang meningkatkan kesadaran pentingnya
bangsa tetapi tidak mengurangi anggapan bahwa etnis seseorang itu penting
(Segall, Dasen, Berry, & Poortinga, 1990). Sangat mungkin hal itu didorong
oleh adanya pengajaran untuk menghargai dan bersikap positif terhadap kelompok
sendiri dan kelompok lain. Menurut Phinney, Ferguson & Tate dalam Steinberg
(2002) sikap positif terhadap ingroup (kelompok etnis sendiri) berkorelasi
positif dengan sikap positif pada outgroup (kelompok etnis lain). Adanya
anggapan etnisitas tetap penting juga didorong faktor praktis; bahwa seseorang
membutuhkan identitas yang lebih spesifik ketimbang identitas bangsa, paling
tidak dalam pergaulan dengan anak bangsa yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar