Selamat Datang di Beta pung Blog : Kekuatan Komunikasi

Selamat Datang di Beta pung Blog : KEKUATAN KOMUNIKASI

Kamis, 02 Juli 2020

Identitas Etnis



Pertanyaan yang selalu muncul ketika bertemu orang-orang baru adalah pertanyaan “orang darimana?” Jawaban yang menunjuk pada wilayah geografis seringkali cukup, namun juga seringkali tidak memuaskan. Dalam masyarakat multietnis seperti Indonesia, jawaban yang diharapkan tidak jauh dari asal etnis yang berhubungan dengan kesukuan. Jadi, pertanyaan “anda orang mana?” sering sama berarti dengan “etnis/suku apa?” Luhut, ketika ditanya asalnya selalu dijawabnya orang dari Irian (Papua sekarang). Sebab disanalah ia lahir dan tumbuh besar. Kesana pula ia pulang ke rumah orangtuanya. Akan tetapi jawabannya itu jarang sekali memuaskan, sebab secara fisik jelas kelihatan ia tidak termasuk kategori salah satu etnis di Irian. Ia lebih mirip orang daerah barat Indonesia. Kenyataannya memang demikian, kedua orangtuanya berasal dari Sumatera Utara. Lalu apakah ia, Luhut, mesti menjawab orang Batak, halmana akan lebih dipercayai ketimbang menjawab sebagai orang Irian? Hal ini tentu akan menjadi dilema baginya. Bagaimanapun ia tidak merasa sebagai orang Batak, ia merasa orang papua. Tapi disisi lain, ia butuh identitas etnis, minimalnya untuk menjawab pertanyaaan “orang darimana?” Pertanyaan yang akan selalu mampir dimanapun ia berada.
Pengertian Etnis
Etnis atau Kelompok etnis atau juga suku bangsa merupakan golongan manusia yang kelompoknya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, umumnya dengan dasar garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain dan ciri dari kelompok itu sendiri contohnya kesamaan budaya, agama, bahasa, prilaku, serta ciri dari biologis. Pengertian Etnis adalah sebuah himpunan manusia (Subkelompok manusia) yang di persatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran atau fungsi tertentu. Karena etnis berkesinambungan dengan suatu budaya. Dan kebudayaan terbentuk dari sekumpulan orang yang menghasilkan suatu budaya yang terjadi dari kebiasaan para anggotanya. Demikianlah, identitas etnis penting di Indonesia. Umumnya orang Indonesia melakukan pengolahan informasi sosial orang lain berdasarkan skema kognitif berbasis asal etnis. Hal ini merupakan kewajaran karena Indonesia memang dikontruksi atas sub-sub yang berupa kelompok etnis. Maka kelompok etnislah yang menjadi salah satu referensi utama dalam menilai orang, bukannya menurut wilayah secara geografis atau agama. Terbentuknya etnis dapat dilihat dari :
  •      Garis keturunan
Anggota sebuah suku bangsa pada dasarnya ditentukan menurut garis keturunan (patrilinial), seperti suku batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku minang atau seperti kebudayaan suku jawa.
Ada juga ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, sedangkan orang Serani yang beragama Nasrani (peranakan Portugis seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia dan sebagainya.
  •          Suku bangsa campuran
Ada juga suku bangsa dengan berdasarkan percampuran ras, contohnya orang peranakan yang merupakan campuran bansa Melayu dengan Tionghoa, orang Indo sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, orang Mestis untuk campuran Hispanik dengan melayu, orang Mulato campuran ras Negroid dengan ras Kaukasoid, dan yang lainnya.
Di beberapa negara, misalnya di Irlandia, agama menjadi dasar kategorisasi utama. Sementara itu di beberapa negara yang lain, misalnya di Amerika Serikat, Jerman, Dan  Perancis, ras yang menjadi kategorisasi utama. Keterangan asal geografis tidak akan dipertanyakan lebih lanjut hanya jika seseorang mirip baik secara fisik ataupun perilakunya, dan bahasanya dengan anggota kelompok etnis pemilik ‘asli’ wilayah geografis itu. Misalnya orang Minang yang ada di Jawa, mungkin tidak akan dipertanyakan lebih lanjut jika menjawab sebagai orang Jawa karena orang Minang dan orang Jawa secara fisik cukup mirip. Akan tetapi akan lain ceritanya kalau orang Bugis mengaku sebagai orang Irian. Pertanyaan berikutnya pasti akan menyusul untuk meminta kejelasan asal etnis.
Masyarakat kita memang belum beranjak dari masyarakat yang ditandai dengan ‘darah’, seperti kasta, keturunan dan etnis. Saat ini identitas etnis masih merupakan identitas yang penting. Memang telah mulai terjadi pergeseran dimana masyarakat seksualitas mulai terbentuk, yakni suatu masyarakat yang ditandai dengan norma, pengetahuan, kehidupan, makna, disiplin, dan peraturan (Haryatmoko, 2002). Dalam masyarakat seksualitas, hubungan-hubungan darah menjadi tidak begitu penting lagi sehingga akan sampai pada suatu tahap dimana identitas etnis mungkin tidak berguna lagi dan akan ditinggalkan. Akan tetapi mungkin saja identitas etnis malahan semakin penting kedepan. Munculnya semangat etnis belakangan ini mengarah pada gejala itu. Artinya, dalam keadaan itu masyarakat seksualitas tidak menjadi kenyataan.

Konsep Etnis (Kesukubangsaan)

Dalam mempelajari hubungan antar etnis dapat di lakukan dengan melihat kasus-kasus yang terjadi. Terutama bagi etnis yang jarang mengalami konflik dan bertahan terhadap gesekan yang terjadi. Tujuanya adalah untuk mengidentifikasi bagaimana cara mereka menghadapi setiap gesekan yang terjadi tanpa adanya konflik. Menurut Barth,(hasbullah, 2013: 26) kelompok etnis dapat disebut sebagai suatu unit kebudayaan karena kelompok etnis mempunyai ciri utama yang penting, yaitu kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama. Dan ia berasumsi bahwa tiap kelompok etnis mempunyai ciri budayanya sendiri.
Ada 2 hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kelompok- kelompok etnis dengan ciri-ciri unit budayanya yang khusus ini, yaitu: kelanggengan unit-unit budaya dan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya tersebut. Ada beberapa implikasi ketika melihat kelompok etnis sebagai unit kebudayaan, yaitu:
  1. Klasifikasi individu atau kelompok tertentu dinyatakan sebagai anggota suatu kelompok etnis tertentu tergantung dari kemampuannya untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok etnis tersebut.
  2. Bentuk-bentuk budaya yang tampak menunjukkan adanya pengaruh ekologi, tetapi bukan berarti ini menunjukkan bahwa semua itu hanya merupakan bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan semata-mata.
Namun, lebih tepat dikatakan bahwa bentuk budaya ini merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok etnis ketika berhadapan dengan berbagai faktor luar. Seperti ketika suatu kelompok etnis yang tinggal tersebar di daerah yang mempunyai lingkungan ekologi bervariasi, akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai dengan daerah tinggalnya, tetapi tidak mencerminkan orientasi nilai budaya yang berbeda.
Perbedaan etnis mungkin juga merupakan determinan perilaku yang lebih penting dibandingkan perbedaan filsafat hidup yang diyakini dan sistem ekonomi yang dijalankan. Orang-orang yang jarang mau berperang demi ideologi atau perbedaan aliran politik, seringkali mau berperang demi bangsa dan etnis (Whelan, 1994). Fenomena ini telah berlangsung lama dan tetap akan menggema sepanjang zaman. Contoh fenomena pertikaian antar etnis di Kalimantan beberapa waktu lalu. Mereka mungkin enggan saling bertikai jika yang berbeda adalah falsafah hidup semata. Akan tetapi ketika isu yang dikembangkan adalah penyerangan terhadap etnisitas, maka muncullah semangat perlawanan terhadap etnis lain yang diklaim telah melakukan penyerangan. Kemudian runtuhnya Uni Sovyet pada era 90-an membuat terbentuknya banyak negara-negara baru yang hampir semuanya merupakan bangsa etnis. Hal ini menepiskan anggapan banyak orang bahwa selepas perang dunia II, etnis-etnis yang ada akan kehilangan identitasnya dan akan menghilang.
Identitas Etnis
Menurut Phinney dan Alipora (1990) Identitas etnis adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis, evaluasi positif pada kelompok, berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnis akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Jadi, identitas etnis seseorang tidak berhenti ketika orang ditasbihkan sebagai anggota etnis tertentu melalui bukti ‘darah’. Akan tetapi identitas itu terbentuk melalui sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai etnis bugis misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis bugis apabila tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya.        
 Faktor pendorong terbentuknya identitas etnis
Faktor mendorong terbentuknya identitas etnis adalah adanya kesamaan sesama anggota etnis yang terbentuk melalui kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan kesamaan latar belakang, halmana membuat mereka memiliki kesamaan adat dan perilaku. Kesamaan-kesamaan itu menumbuhkan perasaan seidentitas (Freedman, Peplau & Sears, 1999) Mereka merasa bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain karena dalam satu kelompok memiliki kesamaan-kesamaan yang besar, baik dalam hal bahasa, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Perasaan seidentitas inilah yang mula-mula memunculkan identitas etnis. Kesamaan dalam kelompok belum cukup untuk menebalkan identitas etnis. Dalam proses untuk mengalami perasaan seidentitas, mereka juga memerlukan kehadiran entitas atau etnis lain sebagai komparasi dan penegas identitas tersebut. Identitas etnis merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnis mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya. Identitas etnis sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah sekumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi.
  1. Identifikasi diri
  2. Pengetahuan mengenai budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan tingkah laku
  3. Perasaan memiliki pada kelompok etnis tertentu.
Menurut Keefe (1992) identitas etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) Identifikasi etnis sendiri vs kelompok etnis lain melalui proses kognitif, 2) Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan elemen afektif. Tatkala seseorang merasa memiliki identitas etnis, maka ia mengidentifikasi siapa yang menjadi anggota kelompok etnis sendiri dan siapa yang menjadi anggota kelompok etnis lain. Ia pun mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnis sendiri dan kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan emosional tertentu terhadap etnisnya.
Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnis merupakan fenomena objektif dan subjektif (Hocoy, 1996). Fenomena objektif manakala seseorang menegaskan identitas etnisnya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti. Misalnya seorang anak yang memiliki orangtua dengan etnis tertentu maka ia merasa sebagai bagian dari etnis orangtuanya. Identitas etnis merupakan fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etnisnya.
Seseorang bisa sangat memuja etnisnya, sementara yang lain bisa jadi tidak memiliki keterikatan yang dalam dengan etnisnya. Bisa jadi seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnis tertentu (karena keturunan misalnya), namun menolak untuk memakai etnis itu sebagai identitasnya. Ada banyak kasus dimana seseorang yang digolongkan kedalam satu etnis tertentu berdasarkan kriteria darah menolak identitas etnis yang dilekatkan padanya. Alasannya bisa beragam. Namun ada kecenderungan penolakan identitas itu berkaitan dengan tidak menguntungkannya identitas asli yang dimiliki baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam berbagai kerusuhan antar etnis, banyak orang tidak mau mengakui identitas etnisnya demi alasan keamanan. Dalam kasus berdarah antara warga etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, banyak warga etnis Madura tidak mengaku diri sebagai etnis Madura karena akan jadi sasaran kemarahan etnis Dayak, demikian pula sebaliknya. Namun saat bersamaan juga terjadi identitas etnis mereka yang bertikai ditonjolkan begitu kuatnya ketika terjadi kerusuhan antar etnis sebagai bentuk solidaritas etnis.
Ada fakta yang menarik pada saat terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan yang melibatkan etnis Dayak dan etnis Madura. Ternyata konflik antar dua etnis itu juga berakibat memperkuat identitas etnis lain di daerah tersebut. Banyak bangunan-bangunan, baik toko, rumah, dan semacamnya diberi label milik orang Bugis, milik orang Jawa, milik orang Minang dan sebagainya untuk menghindari sasaran penghancuran. Demikian pula mereka dengan terang-terangan mengumumkan identitas etnis mereka agar tidak menjadi korban. Jadi, ditengah pertikaian antar etnis penonjolan identitas etnis bagi etnis yang tidak bertikai menjadi sangat penting demi keamanan. Terjadi dimana identitas asal etnis yang mungkin telah digantikan dengan identitas geografis sebagai orang Kalimantan dimunculkan kembali dan diperkuat. Dalam keadaan damai, penolakan identitas etnis memiliki alasan yang kurang lebih sama. Banyak warga etnis pendatang di suatu wilayah tertentu menanggalkan identitas etnisnya lalu melebur diri dan memakai identitas etnis baru. Hal ini dilakukan agar di terima dalam masyarakat baru, sebab faktor etnis mempengaruhi penerimaan masyarakat. Kesamaan etnis antara subyek dan obyek penerimaan diasumsikan akan menyebabkan penerimaan lebih tinggi (Conger, 1973). Akan tetapi hal ini bukan hal mudah karena biasanya pendatang tetap dianggap sebagai etnis yang berbeda oleh warga etnis asli meskipun melakukan hal-hal yang sama dengan warga etnis asli di suatu wilayah.
Secara umum identifikasi terhadap kelompok etnis mempunyai dua pandangan pengertian; 1) sebagai unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang, 2) sebagai hasil pemikiran subjektif orang perorang yang kemudian menyatakan diri sebagai kelompok etnis (Manger, 1994) Perbedaan yang tampak antara dua kelompok etnis, baik dalam hal tradisi, adat, bahasa, dan lainnya menjadi kriteria objektif bagi identifikasi kelompok. Akan tetapi perbedaan itu tidak akan menjadi sebuah identitas kelompok etnis bila masing-masing anggota kelompok tidak mengakui bahwa mereka berbeda dengan yang lain, dan menegaskan diri mereka sebagai satu kelompok tersendiri. Sampai disini masih tersisa pertanyaan, bisakah seorang yang secara ‘darah’ ditasbihkan sebagai etnis tertentu kemudian diakui sebagai etnis lain pula? Tampaknya hal itu dimungkinkan. Mengadopsi dua indentitas etnis secara bersamaan adalah sah. Menurut Stephan dan Stephan (1989) nilai budaya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari oleh siapapun. Maka sesungguhnya, kendatipun memberikan ciri khas etnis (baca: identitas etnis) ia cukup terbuka bagi siapapun untuk menginternalisasinya dan memberikan seseorang identitas etnis. Pendapat ini didasarkan pada fenomena pernikahan antar etnis dimana kemudian salah satu pihak melebur dan memakai identitas etnis pasangannya. Demikian juga anak-anak dari perkawinan antar etnis umumnya tetap dinilai sah bila memakai identitas etnis kedua orangtuanya secara bersamaan.
Perkembangan Identitas Etnis
Bagaimana seseorang menghayati identitas etnisnya? Bagaimana seseorang menyadari dan mengakui bahwa ia memiliki identitas etnis tertentu? Pertanyaan ini terkait dengan proses seseorang mengadopsi identitas etnis yang dimulai sejak kanak-kanak, remaja, bahkan hingga dewasa. Identitas etnis dan adanya sikap positif terhadap etnis sendiri dimunculkan melalui sosialisasi etnis atau ras. Sosialisasi ras atau etnis itu berlangsung sejak kecil sampai dewasa. Terdapat bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnis. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Mulai dari mengenal kategori etnis itulah proses sosialisasi etnis dimulai. Sosialisasi etnis adalah proses dimana orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai identitas etnis mereka dan tentang hal-hal khusus yang mungkin berguna untuk hidup dalam masyarakat yang lebih luas, dengan memberikan latar belakang etnis mereka. Sosialisasi etnis pada etnis minoritas berbeda dengan sosialisasi etnis pada etnis mayoritas karena pada kelompok minoritas masalah etnisitas dipersepsi jauh lebih penting.
Pencapaian etnis minoritas ke dalam kelompok etnis mayoritas
Pencapaian identitas etnis merupakan masalah mendasar yang berkaitan dengan kebanggaan etnisitas seseorang dengan kelompok etnisnya. Remaja yang sedang mengalami proses pencarian identitas untuk membentuk konsep diri sangat berkepentingan dalam penelusuran identitas etnis. Membangun identitas etnis lebih penting bagi remaja kelompok etnis minoritas daripada kelompok mayoritas. Bagi etnis minoritas kebanggaan terhadap kelompok etnisnya akan membantu dalam membangun konsep diri yang positif yang memudahkan mereka dalam bergaul dengan kelompok mayoritas. Akan tetapi tidak semua remaja bisa menemukan identitas etnis yang positif. Bisa jadi seorang remaja malu akan identitas etnisnya dan enggan mengakuinya. Menurut Phinney dalam Steinberg (2002) ada empat hal yang mungkin dilakukan etnis minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:
  •  Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya)
  • Marginality (hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing dan tidak diterima) 
  •  Separation (memisahkan diri dari budaya mayoritas dan tetap memakai budaya       sendiri)
  •  Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara berbarengan).
Menurut Steinberg (2002) individu dengan kecenderungan kepribadian tertentu akan memiliki kecenderungan memiliki identitas etnis dalam kategori tertentu juga. Orang-orang yang memiliki identitas etnis achieved (achievers) paling sehat secara psikologis daripada individu dalam kategori lain. Individu dalam kategori ini memiliki motivasi berprestasi tinggi, penalaran moral yang sehat, memiliki keakraban dengan teman-teman pergaulan, dan sanggup melakukan refleksi diri atas apa yang telah diperbuat. Orang yang memiliki identitas etnis moratorium memiliki kecemasan tinggi dan memiliki kecenderungan untuk melawan atau mencipta konflik dengan pemegang otoritas, memiliki sikap yang luwes dan paling tidak otoritarian. Individu yang memiliki identitas etnis diffusion biasanya bermasalah secara psikologis dan interpersonal, menarik diri dari pergaulan sosial, dan memiliki level rendah dalam instuisi dengan kelompok pertemanannya (kurang peka). Sedangkan individu yang memiliki identitas etnis foreclosure umumnya berkepribadian otoritarian, sangat berprasangka, memiliki kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial dan memiliki level rendah akan otonomi atau sangat tergantung.
Status identitas etnis atau derajat identifikasi etnis yang dimiliki seseorang tergantung pada banyak hal. Dua yang terpenting adalah derajat dari homogenitas dan heterogenitas kehidupan lingkungan tempat tinggal. Semakin homogen masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnisnya juga semakin rendah dan semakin heterogen masyarakat di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnis semakin tinggi. Dalam masyarakat yang homogen, dalam hal ini satu etnis, tidak ada kebutuhan untuk menunjukkan identitas kelompok etnisnya pada orang lain halmana membuat kurang kuatnya identifikasi terhadap kelompok etnis. Selama ini kita mengira bahwa melalui pendidikan yang diselenggarakan oleh negara yang muatan pendidikannya lebih bersifat kebangsaan maka keeratan peserta didik terhadap etnisnya akan berkurang. Akan tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian. Pendidikan memang meningkatkan kesadaran pentingnya bangsa tetapi tidak mengurangi anggapan bahwa etnis seseorang itu penting (Segall, Dasen, Berry, & Poortinga, 1990). Sangat mungkin hal itu didorong oleh adanya pengajaran untuk menghargai dan bersikap positif terhadap kelompok sendiri dan kelompok lain. Menurut Phinney, Ferguson & Tate dalam Steinberg (2002) sikap positif terhadap ingroup (kelompok etnis sendiri) berkorelasi positif dengan sikap positif pada outgroup (kelompok etnis lain). Adanya anggapan etnisitas tetap penting juga didorong faktor praktis; bahwa seseorang membutuhkan identitas yang lebih spesifik ketimbang identitas bangsa, paling tidak dalam pergaulan dengan anak bangsa yang lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar