Pengertian
Penggusuran nilai privasi
dalam praktik komunikasi seperti yang dilakukan media tidak hanya terjadi di
dalam negeri, 2 Februari 2007 lalu, pemberitaan media tentang penangkapan aktor
tiga zaman, Wicaksono Abdul Salam (56) yang lebih beken dengan nama Roy Marten
dalam kasus narkoba justru melebar ke persoalan pribadi, yakni
ketidakharmonisan Roy Marten dengan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia
(Parfi) Anwar Fuadi dan pengacara beken Ruhut Sitompul. Di Amerika Serikat,
beberapa kasus pernah mencuat soal eksploitasi nilai privat oleh media. Tahun
2000, televisi NBC menyiarkan secara detail proses screening test kanker
payudara. Juga pada tahun yang sama, televisi ABC menyiarkan secara langsung
seorang wanita menjalankan proses persalinan. Media cetak pun tak mau
ketinggalan, pada saat kasus Clinton mencuat, media di AS bahkan menjelaskan
secara detil pengakuan sumber tentang penggambaran penis sang presiden, bahkan
dalam bentuknya ketika organ tersebut “in action”. (Louis Alvin Day, 2003:
131)
Supermodel Inggris, Naomi
Campbell, menang kasus naik bandingnya beberapa waktu lalu dalam gugat
pelanggaran privasi terhadap sebuah harian setempat yang memuat foto-foto sang
supermodel meninggalkan pertemuan konseling ketergantungan obat-obatan,
demikian dikutip dari AP (Associated Press). Dengan membatalkan keputusan
pengadilan tingkat lebih rendah, engadilan tertinggi Inggris The Law Lords
mengambil keputusan tiga lawan dua bahwa harian The Daily Mirror telah
melanggar privasi Campbell. Mereka juga membatalkan perintah agar Campbell
membayar ganti rugi biaya penasihat hukum pihak harian ini senilai US$630.000. Campbell
menggugat The Daily Mirror atas klaim bahwa harian ini melanggar
haknya atas kerahasiaan dan telah melanggar privasinya dengan memuat foto-foto
Februari 2010 dan berita yang menyebut detil-detil perawatannya dari
ketergantungan obat-obatan. Campbell memberikan kesaksian dengan mengatakan ia
merasa “shock, marah, dikhianati, dan diperkosa” oleh berita itu.Pada bulan
April 2002, pengadilan tinggi berpihak pada Campbell dan memerintahkan The
Daily Mirror membayar ganti rugi berupa biaya penasihat hukum dan kerugian
US$6300. Keputusan itu kemudian dibalikkan pada naik banding enam bulan
kemudian dan pengadilan memerintahkan Campbell membayar biaya penasihat hukum
US$630.00 kepada harian ini.
Menurut Louis Alvin Day
dalam bukunya yang berjudul “Etics in Media Communication, (2006;132),
mengatakan bahwa Invasi privasi oleh media meliputi spektrum yang luas, mulai
dari reporter, hingga pengiklan. Pengiklan mengubah persoalan etik menjadi
persoalan ekonomi. Dalam kondisi persaingan media yang makin ketat,
proses invasi tersebut merupakan hal yang tak dapat dihindari. Namun demikian,
tetap saja hal tersebut menimbulkan dilema antara media dan audiensinya.Day
sendiri mendefinisikan privasi sebagai “Hak untuk dibiarkan atau hak untuk mengontrol publikasi yang
tidak diinginkan tentang urusan personal seseorang”. Urusan personal perlu
mendapat perhatian khusus karena di masyarakat kita telah terjadi salah kaprah
dengan meyyakini bahwa seorangpublic figure (seperti pejabat atau
selebritis), maka dengan sendirinya ia tidak memiliki hak privasi. Masyarakat
kita bahkan public figure sendiri selalu mengatakan bahwa sudah
menjadi resiko bagi public figure untuk tidak memiliki privasi. Tentu
pandangan ini tidak benar, karena semua orang termasuk public figure mempunyai
privasi sebagai hak menyangkut urusan personal. Bila menyangkut urusan publik
barulah seorang public figure tidak bisa menghindar dari upaya
publikasi sebagai bagian dari transparansi tanggung jawab.Masalah mendasar
terjadi pada sifat dari praktik komunikasi itu sendiri. Praktik komunikasi
termasuk media tidak akan membiarkan seorang ddengan kesendiriannya. Tendensi
praktik komunikasi dan juga media adalah pengungkapan (revelation), sedangkan
tendensi dari privasi adalah penyembunyian (concealment).
Privasi sebagai terminologi
tidaklah berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia. Samuel D. Warren dan
Louis D. Brandeis menulis artikel berjudul “Right to Privacy” di Harvard Law
Review tahun 1890. Mereka seperti halnya Thomas Cooley di tahun 1888
menggambarkan Right to Privacysebagai “Right to be Let Alone” atau secara
sederhana dapat diterjemahkan sebagai “hak untuk tidak diusik dalam kehidupan
pribadi”. Hak atas privasi dapat diterjemahkan sebagai hak dari setiap orang
untuk melindungi aspek-aspek pribadi kehidupannya untuk dimasuki dan digunakan
oleh orang lain. (Donnald M. Gillmor, 1990:281). Di Amerika Serikat, setiap
orang yang merasa privasinya dilanggar memiliki hak untuk mengajukan gugatan
yang dikenal dengan istilah Privacy Tort.
Acuan
Pembagian Bentuk Pelanggaran Privasi Terkait Media
Sebagai acuan guna mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran privasi dapat
digunakan catatan dari William Prosser yang pada tahun 1960 memaparkan hasil
penelitiannya terhadap 300-an gugatan privasi yang terjadi. Pembagian
yang dilakukan Posser atas bentuk umum peristiwa yang dijadikan dasar gugatan
privasi yaitu dapat kita jadikan petunjuk untuk memahami privasi terkait dengan
media. Adapun peristiwa-peristiwa itu yakni:
1. Intrusion,
yaitu tindakan mendatangi atau mengintervensi wilayah personal seseorang tanpa
diundang atau tanpa izin yang bersangkutan. Tindakan mendatangi dimaksud dapat
berlangsung naik di properti pribadi maupun di luarnya.
2. Public
disclosure of embarrassing private facts, yaitu penyebarluasan
informasi atau fakta-fakta yang memalukan tentang diri seseorang.
Penyebarluasan ini dapat dilakukan dengan tulisan atau narasi maupun dengan
gambar.
3. Publicity
which paces someone false light in the public eye, yaitu publikasi yang
mengelirukan pandangan orang banyak terhadap seseorang.
4. Appropriation
of name or likeness, yaitu penyalahgunaan nama atau kemiripan seseorang
untuk kepentingan tertentu. Peristiwa ini lebih terkait pada tindakan
pengambilan keuntungan sepihak atas ketenaran seseorang selebritis. Nama dan
kemiripan si selebritis dipublikasi tanpa izin.
Nilai Etika mesti dikedepankan. Pada saat yang sama kita menolak
penggusuran ruang privat oleh penguasa, namun pada saat yang sama pula kita
bersuka cita ketika ruang privat kita diobok-obok oleh praktik komunikasi.
Dengan kata lain, kita cenderung menjadi toleran ketika praktik komunikasi
menginvasi privasi kita.
Nilai Privasi
Ada sejumlah jawaban mengapa privasi penting bagi kita, yakni:
1. Privasi
memberikan kemampuan untuk menjaga informasi pribadi yang bersifat rahasia sebagai
dasar pembentukan otonomi individu.
2. Privasi
dapat melindungi dari cacian dan ejekan orang lain, khususnya dalam masyarakat
dimana toleransi masih rendah, dimana gaya hidup dan tingkah laku aneh tidak
diperkenankan.
3. Privasi
merupakan mekanisme untuk mengontrol reputasi seseorang.
4. Privasi
merupakan perangkat bagi berlangsungnya interaksi sosial.
5. Privasi
merupakan benteng dari kekuasaan pemerintah.
Privasi Sebagai Nilai Moral
Konsep privasi tidak seperti konsep kebenaran, dimana akar norma privasi
tidak ditemukan dalam sejarah masa lampau. Di Barat, nilai privasi didorong
oleh Revolusi Kebudayaan di Perancis dan Revolusi Industri di Inggris. Di
Amerika serikat, privasi muncul pada abad 18, ketika media masaa lebih banyak
memuat opini daripada berita tentang seseorang. Memasuki abad ke 20, privasi
tidak hanya merupakan konsep moral tetapi juga konsep legal. Wacana etika melibatkan prilaku dan sistem nilai etis yang dipunyai oleh setiap
individu atau kolektif masyarakat. Oleh sebab itu, wacana privasi sebagai
etika mempunyai unsur-unsur pokok. Unsur-unsur pokok itu adalah kebebasan,
tanggung jawab, hati nurani, dan prinsip-prinsip moral dasar.
Kebebasan adalah unsur pokok dan utama dalam wacana privasi. Privasi
menjadi bersifat rasional karena privasi selalu mengandaikan kebebasan. Dapat
dikatakkan kebebasan adalah unsur hakiki privasi. Tanggung jawab adalah kemampuan individeu untuk menjawab segala pertanyaan
yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan. Tanggung jawab berarti bahwa orang
tidak boleh mengelak, bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Tanggung
jawab mengandaikan penyebab. Orang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
disebabkan olehnya. Pertanggungjawaban adalah situasi dimana orang menjadi
penyebab bebas. Kebebasan adalah syarat utama dan mutlak untuk bertanggung
jawab. Ragam tanggung jawab terdiri dari tanggung jawab retrospektif dan
tanggung jawab prospektif.
Hati nurani adalah penghayatan tentang nilai baik atau buruk berhubungan
dengan situasi konkret. Hati nurani yang memerintahkan atau melarang suatu
tindakan menurut situasi, waktu, dan kondisi tertentu. Dengan demikian hati
nurani berhubungan dengan kesadaran. Kesadarana adalah kesanggupan manusia untuk
mengenal dirinya sendiri dan karena itu bisa berefleksi tentang dirinya. Hati
nurani bisa sangat bersifat retrospektif dan prospektif. Dengan demikian,
hatinurani juga bersifat personal dan adipersonal. Pada dasarnya, hati nurani
merupakan ungkapan dan norma yang bersifat subjektif.
Prinsip kesadaran moral adalah beberapa tataran yang perlu diketahui untuk
memposisikan tindakan individu dalam kerangka nilai moral tertentu. Privasi
selalu memuat unsur hakiki bagi seluruh program tindakan moral. Prinsip tindakan
moral mengandaikan pemahaman menyeluruh individu atas seluruh tindakan yang
dilakukan sebagai seorang manusia. Setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam
kesadaran moral. Prinsip-prinsip itu adalah sikap baik, keadilan, dan hormat
pada diri sendiri serta orang lain. Prinsip keadilan dan hormat pada diri
sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan prinsip sikap baik
menjadi dasar mengapa seseorang untuk bersikap adil dan hormat.
Problematika Privasi Dalam Media
Sebagian besar media pers nasional, tidak terkecuali media arus utama (mainstream)
yang bergengsi, melanggar privasi dalam penyajian beritanya. Media pers semata
mencari sensasional dan tidak disadarinya telah merugikan publik. Permasalahan
ini dinilai bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik wartawan Indonesia yang
baru, menurut wartawan menempuh cara yang profesional termasuk menghormati hak
privasi atau masalah kehidupan pribadi seseorang. Demikian terungkap dalam
Seminar Sehari “Etika Privasi dan Pengaduan Publik” diadakan oleh Lembaga Pers
Dr. Sutomo bekerja sama dengan Exxon Mobil di Madani Hotel Medan, Rabu (lihat
Waspada Online, 5 Desember 2007), dengan pembicara antara lain pengajar LPDS
Atmakusamah Astraatmadja.Atmakusumah yang juga ketua Dewan pengurus Voice of
Human Right (VHR) News Centre di Jakarta, dalam seminar itu mengatakan bentuk
pelanggaran etika privasi yang kerap dilakukan media pers antara lain pers
membuat nama lengkap, identitas, dan foto anak di bawah umur (dibawah 16 tahun)
yang melakukan tindak pidana, pasangan bukan suami-istri yang berkencan terkena
hukuman cambuk seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan pelaku
tindak kejahatan serta aborsi. Menurut Atmakusumah, hubungan intim dan aborsi
termasuk masalah privasi sepanjang peristiwa itu tidak terjadi tindak
kekerasan, karena dalam etika pers, aborsi juga termasuk dalam kategori
perawatan kesehatan dan pengobatan.
Kategori privasi lainnya adalah kelahiran, kematian, dan perkawinan yang
pemberitaannya harus memperoleh izin dari subjek berita yang bersangkutan dari
keluarganya. Atmakusumah menyayangkan, pelanggaran kode etik ini banyak
dilakukan media arus utama yang telah merugikan publik. Contoh kasus, katanya,
di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) secara sensasional media pers
membuat foto, nama lengkap dosen, dan mahasiswa yang melakukan hubungan intim
termasuk mahasiswa yang melakukan aborsi. Selain itu, hukum cambuk bagi bukan
suami istri berkencan di NAD disiarkan foto dan identitasnya. Sangat sedikit
media berusaha menghindari pelanggaran etika dalam pemberitaan itu.
Terdapat sejumlah dilema dalam praktik komunikasi untuk menerapkan prinsip
privasi dalam konten media terutama menyangkut isu-isu, antara lain:
1. Penyakit
Menular, Alvin Day (2003: 141), menceritakan bahwa pada tahun 1939 majalah
Time kena denda 3000 dollar karena membpublikasikan tanpa izin jenis penyakit
yang diderita Dorothy Barber ketika ia tengah berobat di RS Kansas. Dorothy
mengajukan tuntutan pelanggaran privasi, dan pengadilan pun memenangkannya.
Kasus penyakit menular seperti AIDS memang memiliki nilai berita (newsworthiness)
yang tinggi, namun menurut Day hal tersebut tidak menjadikannya sebagai nilai
kebenaran untuk melanggar privasi.
2. Homoseksual,
Saat ini gay dan juga lesbi lebih sering muncul di berbagai produk media,
seperti berita, drama, dan film. Gejala tersebut menunjukan bahwa masyarakat
sekarang lebih bersikap moderat terhadap kehadiran golongan dengan orientasi
seksual homo (gay atau lesbi). Namun demikian persoalan etis tetap saja tidak
boleh dikesampingkan. Orientasi seksual seseorang menurut Alvin Day merupakan
urusan privat. Kata kunci untuk menghormati privasi orang dengan orientasi
seksual homo adalah dengan mengukur relevansi penyebutan homo dengan
keseluruhan produk media tersebut. Penyebutan homo dalam berita pembunuhan
misalnya, mesti dikaji relevansinya apakah seseorang membunuh karena ia homo
atau persoalan lainnya. Sama ketika media massa menyebutkan unsur ras dalam
tampilan media. Apakah penyebutan ras tertentu bersifat relevan dengan
keseluruhan cerita atau tidak. Jika tidak, maka penyebutan ras (dan juga homo
seksual) adalah bagian pelanggaran privasi.
3. Korban
Kejahatan Seksual, Dalam masyarakat dimana kelompok laki-laki bersifat
dominan (a male-dominated society) seperti Indonesia, telah berkembang
tendensi untuk menyalahkan korban kejahatan sosial yang notabene adalah
perempuan. Pada kondisi ini, praktik komunikasi dituntut untuk menjaga privasi
korban kejahatan seksual, karena akan menambah derita korban berupa stigma
sebagai perempuan yang tidak baik. Di Amerika Serikat sendiri korban kejahatan
seksual selalu dikaitkan dengan ras kulit hitam, dimana penggambaran tersebut
selain melanggar privasi juga memunculkan stigma dominasi kulit putih terhadap
ras kulit hitam. Maka tak heran, kelompok gerakan perempuan memasukkan
stigmatisasi tersebut sebagai salah satu isu untuk mengangkat privasi, harkat
dan martabat perempuan. Menurut mereka isu kejahatan seksual terhadap perempuan
hendaknya dilihat sebagai kejahatan seksual terhadap perempuan hendaknya
dilihat sebagai kejahatan biasa, yang tak perlu dikaitkan dengan dominasi
laki-laki atau perempuan atau dominasi ras tertentu atas ras yang lainnya.
4. Tersangka
di Bawah Umur, Pelanggar hukum di bawah umur perlu dilindungi privasinya,
karena sistem hukum pidanan bagi anak di bawah umur sendiri tidak bertujuan
sebagai hukuman (punishment), tetapi lebih sebagai rehabilitasi. Hal ini
di dasarkan pada asumsi bahwa sifat dan prilaku kejahatan yang dilakukan anak
di bawah umur belumlah berakar tetap (anchored). Sudah semestinya
praktik komunikasi termasuk media massa, menghormati sekaligus mendukung
pelaksanaan prinsip ini. Pelanggaran terhadap privasi ini akan menyebabkan
stigmatisasi terhadap anak, yang pada gilirannya justru dapat semakin
meneguhkan sikap dan prilaku jahatnya.
5. Bunuh
Diri, Kajian privasi pada bunuh diri didasarkan bahwa tiap orang memiliki
hak untuk meningal secara terhormat. Tentu saja dalam pandangan masyarakat
kita, bunuh diri merupakan salah satu cara meninggal yang tidak terhormat.
Karena itulah peristiwa bunuh diri merupakan bagian dari privasi seseorang,
karena begitu peristiwa itu terpublikasi, maka yang bersangkutan beserta
segenap keluarganya akan kehilangan rasa hormat dari orang lain. Alvin Day
secara khusus menyoroti tayangan televisi tentang bunuh diri tau percobaan
bunuh diri. Atas nama persaingan, kadangkala stasiun televisi mengenyampingkan
faktor moral dengan menayangkan identitas pelaku.
6. Kamera
dan Rekaman Tersembunyi, Pada poin ini, Alvin Day menyoroti peran jurnalis
dalam mencari dan mengumpulkan informasi. Day mengatakan bahwa, era persaingan
menuntut jurnalis untuk bisa bekerja layaknya detektif. Pada sisi lain, publik
juga cenderung menyukai laporan investigatif, baik dalm bentuk audio maupun
visual. Alvin Day mendukung upaya investigatif seperti demikian namun dengan
catatan bahwa muara dari upaya tersebut adalah demi kepentingan publik. Maka,
peraturan tentang privasi atas hal ini adalah bahwa baik jurnalis maupun sumber
harus berada pada wilayah publik, bukan dalam hubungan privat dalam kapasitas
sebagai manusia. Isu-isu tersebut mengandung nilai-nilai yang sensitif untuk
dipublikasikan. Bahkan sebagian dari kita misalnya akan sensitif ketika ditanya
usia. Namun demikian keenam isu tersebut tentunya juga memiliki nilai berita
dan nilai jual untuk dapat diangkat sebagai produk media, selain tentunya
memberi informasi dan pemahaman bagi audiensnya.
Daftar
Pustaka
Mufid, Muhamad. Etika dan
Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009
Haryatmoko, Dr. Etika
Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan Dan Pornografi. Yogyakarta:
Kanisius, 2007