Selamat Datang di Beta pung Blog : Kekuatan Komunikasi

Selamat Datang di Beta pung Blog : KEKUATAN KOMUNIKASI

Selasa, 17 Desember 2013

EFEKTIFITAS KOMUNIKASI

EFEKTIFITAS DALAM BERKOMUNIKASI

DENGAN ORANG ASING


Terkejut dan  khawatir adalah awal dari proses memahami

                                                                                    Joy. Gasset

Pendahuluan

Tujuan pembahasan ini adalah untuk menyatukan semua pandangan mengenai komunikasi dengan orang lain melalui analisa berbagai faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi. Kita membagi pokok pembahasan kedalam 4 bagian. Bagian pertama, mendefinisikan apa yang dimaksud dengan komunikasi efektif dan perbedaannya dengan kemampuan komunikasi yang selanjutnya dipersepsikan sebagai kemampuan komunikator. Kedua, kita menganalisa lebih dalam tentang proses komunikasi efektif dan kemampuan antar budaya. Bagian ketiga, mempresentasikan pandangan kita tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan komunikator. Bagian terakhir, kita mempraktekkan keterampilan berkomunikasi secara efektif untuk mengurangi perselisihan/konflik dengan orang asing.

A. Mendefinisikan efektifitas dan kemampuan komunikasi

Dalam sebuah film Cool Hand Luke, Paul Newton berperan sebagai luke, seorang yang dipenjara karena merusak rambu-rambu parincir. Luke menpat masaalah dengan salah satu pejaga penjara. Penjaga penjara tersebut kemudian berbicara pada Luke bahwa “masaalah yang kita alami adalah karena kegagalan kita dalam berkomunikasi”. Apa yang dikatakan oleh penjaga penjara itu masuk akal. Luke dan penjaga penjara kemudian berkomunikasi meskipun tidak efektif.

1. Efektifitas Komunikasi

Komunikasi adalah proses pertukaran pesan dan pembuatan makna. Orang-orang tau akan dapat menangkap makna suatu pesan yang persis sama. Jadi komunikasi yang efektif sangat tergantung dari kemampuan kita memahami makna pesan pada saat proses interaksi (pertukaran pesan). Dengan kata lain, komunikasi yang efektif dapat mengurangi kesalapahaman terhapa makna pesan yang diterima ataupun disampakan. Meskipun kita tak dapat menangkap makna pesan yang betul-betul sama dengan orang lain, bukan berarti komunikasi yang efektif tak dapat dilakukan, hanya saja sulit dilakukan atau tidak sempurna (Fisher, 1978 ).

            Pada saat berkomunikasi, kita menangkap makna (menginterpretasi) pesan yang kita buat dan diberikan ke orang lain. Kita biasanya tidak sadar akan hal ini tetapi sebenarnya kita sering melakukannya. Dua orang yang berkomunikasi dapat dikatakan berkomunikasi secara efektif jika dapat memaknai pesan yang dikirim dan diterima meskipun maknanya tidak sepenuhnya sama. Powers dan Lowrey (1984) mengatakan bahwa komnikasi yang efektif dapat terjadi jika terjadi kesesuaian antara 2 orang atau lebih pada saat berkomunikasi. Triandis (1977) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif terdiri dari pembuatan makna yang sifatnya isomorpik (isomorpik berarti menjadi sama, memahami sifat melalui pernyataan kualitas dan karakteristik terhadap sesuatu).

Komunikasi yang tidak efektif  dengan orang asing dapat terjadi karena beberapa alasan. Mungkin karena itu tidak menyampaikan pesan dengan baik kepada orang lain. Orang asing juga salah memahami pesan yang kita sampaikan. Kedua, hal ini dapat terjadi secara bergantian. Masalah tersebut dapat terjadi disebabkan cara pengucapan kata yang tidak tepat (pronounciation), struktur kalimat yang salah (grammar), tidak memahami topik pembicaraan, tidak saling mengenal, tidak memahami bahasa orang lain tidak fasih menggunakan bahasa orang lain. Dan juga disebabkan oleh faktor sosial (Gass dan Varonis, 1984). Jika kita saling mengenal satu sama lain atau fasih menggunakan bahasa orang lain maka kita akan lebih mudah untuk saling mengenal baik perilaku ataupun makna bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi.

            Dengan demikian, secara umum semakin besar pengetahuan budaya dan linguistic kita maka semakin kita yakin/percaya terhadap orang asing yang berkomunikasi dengan kita. Kurangnya pengetahuan linguistic dan budaya akan mengakibatkan kesalahpahaman karena kita “mendengar pembicaraan, dari hipotesa tentang rutinitas yang telah dilakukan dan kemudian menjadi pengetahuan latar belakang social dan kesesuaian untuk kita evaluasi sikap dan perilaku mana yang cocok.

Dalam menjalin hubungan prilaku dengan orang lain, kita biasanya kurang sadar atas apa yang kita katakan atau lakukan, kita bertindak sepeti terkontrol secara otomatis, hal ini berarti kurang sadar (tidak berfikir). Namun, hasil penelitian terkini menemukan bahwa kita tidak sepenuhnya bertindak secara otomatis. Tetapi kita harus lebih memperhatikan proses berkomunikasi sehingga kita dapat memahami kata kunci yang digunakan dalam percakapan.

Ketika berkomunikasi secara otomatis (automatic pilot), kita akan memaknai pesan nyang diterimah melalui sistem simbol seperti pada saat kita masih anak-anak. Sistem ini secara meluas meliputi sistem simbol dalam budaya, etnis, agama, dan keluarga kita untuk memahami anggota-anggota kelompok itu. Bagian dari sistem simbol kita adalah hal yang unik dan berdasarkan atas pengalaman khusus. Tak ada dua orang yang dapat memehami makna simbol dengan pemaknaan yang betul-betul sama. Makna pesan yang kita pahami dan makna pesan yang orang lain pahami relatif sama. Tetapi, meskipun ada perbedaan dalam memahami makna pesan bukan berarti kita dapat berkomunikasi secara efektif.

Lebih lanjut bahwa sistem pengelompokan yang menempatkan kita dalam posisi tertentu dapat menjadi penyebab utama terjadinya komunikasi secara otomatis (automatic pilot) pada diri kita. Kita mengelompokkan orang-orang kedalam suatu kelompok yang rasional menurut kita. Proses ini biasanya didasarkan pada faktor fisik (seperti: gender, ras) atau karakteristik budaya (seperti: latar belakang budaya atau etnis), tetapi kita juga dapat melakukan pengelompokan berdasarkan prilaku pendekatan yang lain.

Kita menggunakan sistem pengelompokan sebagai upaya untuk mengatur fenomena. Hasil utama dari sistem ini adalah munculnya berbagai ideologi yakni sistem ide yang rasional, dianggap benar, dan mensucikan kehidupan kita. Nasionalisme, komunisme, eksistensialisme, kristen, buddhysme- semua menunjukkan identitas, aturan tindakan, dan pemakanaan bagaimana dan kenapa sesuatu dapat terjadi dan dilakukan.

Sistem pengelompokan yang membuat kita menempatkan orang-orang pada posisi tertentu dapat mempengaruhi pemaknaan kita. Menempatkan seseorang dalam suatu kategori, stereotip pada orang-orang mempengaruhi prediksi dan interpretasi prilaku mereka. Mendasarkan predksi pada proses pengelompokkan akan menyebabkan prilaku atau tindakan yang kurang disadari). Meskipun dari informasi dari proses pengelompokkan sangat penting untuk digunakan tetapi orang-orang dapat ditempatkan dalam berbagai kategori yang berbeda. Untuk komunikasi yang efektif kita harus memahami identitas dari pelaku komunikasi.

Komunikasi yang tidak efektif dengan orang asing biasanya terjadi ketika prediksi kita bergantung hanya pada sistem simbol. Sebagai contoh, seorang buruh berras kulit putih yang berinteraksi dengan siswa kulit hitam dalam kelas budaya di America Serikat. Guru itu bertanya kepada siswa kulit hitam. Ketika menjawab, siswa itu tidak menatap mata gurunya. Secara umum, para guru memaknai prilaku tersebut sebagai prilaku yang tidak menghargai orang lain atau siswa itu menyembunyikan sesuatu. Bagi siswa kulit putih, menatap mata orang yang ditemani berbicara adalah prilaku menghargai orang lain atau berkata jujur/benar. Tetapi, bagi siswa kulit hitam, tidak menatap lawan bicara adalah bentuk prilaku menghargai orang lain. Dalam situasi ini, kesalahpahaman dan komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi. Oleh karena itu, proses komunikasi yang lebih baik sangat dibutuhkan.

Sebagai ringksan, komunikasi efektif meliputi proses meminimalisir kesalahpahaman. Agar dapat berkomunikasi efektif dengan orang asing maka kita harus lebih berfikir/memahami. Komunikasi efektif dan berbagai pendekatan adalah aspek yang sangat penting dalam kemampuan/kecakapan komunikator. Tetapi bagaimana pun kita dapat berkomunikasi secara efektif dan bisa saja kita tidak memahami kemampuan komunikator.

2. Kemampuan

Ada 2 pandangan tentang kemampuan komunikasi yang muncul secara alami. Satu pandangan yang menerangkan bahwa kompetisi terdapat pada masing-masing komunikator, sedangkan pandangan yang lain menerangkan bahwa kompetisi terdapat antara para komunikator .Y.Y. kim (1991) menerangkan pandangan yang pertama. Dia berpendapat bahwa pendapat yang pertama dalah kompetensi komunikasi antar budaya.

Kita harus memahami seseorang secara tepat tentang kapasistas dan kemampuannya untuk memfasilitasio proses komunikasi antara orang-orang yang berbeda latar belakang budayanya agar dapat menghasilkan proses interaksi yang sukses. Dalam hal ini, kompetensi (kemampuan) komunikasi antar budaya sangat dibutuhkan, tetapi tidak hanya itu, karena tingkat kemampuan pelaku komunikasi bisa saja tak dapat menghindari kecelakaan (kesalahpahaman) dalam berkomunikasi karena adanya faktor eksternal. Dalam hal ini, memahami situasi pada saat berkomunkasi dapat menjadi aspek yang sangat penting untuk dipahami (P.263).

Pendapat kedua tentang kemampuan komunikasi mengasumsikan penilaian kompetisi (kemampuan) komunikasi muncul pada saat kita berinteraksi. Gudyukun st (1991), mengungkapkan bahwa penilaian kita terhadap kemampuan komunikasi pada diri sendiri tidak akan sama dengan penilaian orang lain tentang kemampuan berkomunikasi kita. Sebagai contoh, anda menilai diri sendiri anda sebagai orang yang memiliki kemampuan/kecakapan komunikasi yang sangat baik. Teta[pi, pada saat berkomunikasi dengan teman, bisa saja teman anda menilai bahwa anda memiliki kemampuan komunikasi yang buruk. Pendapat ini menerangkan bahwa keterampilan khusus dalam berkomunikasi tidak menjamin anda akan dianggap berkompetensi dalam proses interaksi pada situasi tertentu. Bagaimana pun keterampilan kita dalam berkomunikasi akan semakin meeningkat dalam proses interaksi dimana kita mampu menyesuaikan prilaku kita sehingga orang lain dapat menilai kita sebagai orang yang cakap (kompeten) dalam komunikasi.

Dari penjelasan 2 pendapat diatas, kedua penulis (penggagas) tidak bersepakat. Mereka hanya bersepakat bahwa motivasi, pengetahuan, dan keterampilan setiap individu dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi mereka. Mereka juga sepakat bahwa setiap orang memiliki penilaian tentang kemampuan komunikasi terhadap orang lain. Jadi, untuk memahami kemampuan komunikasi (Perceived comperence), kita dapat menggunakan 2 pendapat tersebut diatas.

B. Berbagai pendekatan terhadap studi efektifitas komunikasi

Ada beberapa karakteristik khusus yang mesti dimiliki agar dapat berkomunikasi secara efektif. Gardener (1975) menemukakan beberapa ciri dari orang yang mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang asing. Orang tersebut menurut Gardener harus memiliki lima sifat dan ciri berikut: (1) kebiasaan untuk menyatukan diri dan menjaga stabilitas diri, (2) menyatu pada organisasi yang bersifat umum, (3) menerapkan sistem yang sesuai dengan perempuan dan laki-laki, (4) bersosialisi dengan masyarakat secara meluas, (5) menggunakan intuisi dan sensifitas. Kleinjans (1972) berpendapat sama dengan mengajukan bahwa komunikator yang efektif adalah: (1) memandang orang pada posisi pertama dan representasi budaya pada posisi kedua, (2) mengenali sesorang dengan dasar kebaikan, (3) mengetahui nilai budaya orang lain sebagaimana dia mengetahui budayanya sendiri, (4) dapat mengontrol tindakannya, (5) berbicara dengan hati-hati, (6) memiliki ketahanan diri dan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan orang lain.

Ada beberapa dimensi perilaku yang dapat meningkatkan kemampuam komunikasi kita adalah sebagai berikut:

  1. Menampakkan respek positif pada orang lain
  2. Bentuk interaksi yang merupakan kemampuan respon untuk mendeskripsikan  orang lain, bukan bentuk evaluasi, dan bukan penghakiman terhadap orang lain
  3. Manajemen interaksi yang ditunjukkan melalui pembahasan dan pengenalan terhadap interaksi yang didasarkan pada pernyataan kebutuhan dan keinginan orang lain secara akurat dan masuk akal.

Gudykunst, Wiseman, dan Hammer (1977) menegmukakan bahwa orang yang berkomunikasi secara efektif tidak hanya menggunakan prespektif budayanya sendiri dalam memaknai perilaku orang lain yang berasal dati budaya yang berbeda. Tetapi mengikutsertakan prespektif budaya-ketiga, yang secara psikologis berhubungan dengan budayanya sendiri dan budaya orang asing.   

Kita dapat mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang persfektif ini akan memiliki karakteristik berikut: (1) mereka terbuka dengan ide-ide dan pengalaman baru, (2) mereka memiliki empati terhadap orang-orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda, (3) mereka dapat memahami secara tepat tentang perbedaan dan persamaan antara budayanya dan budaya orang lain, (4) mereka akan lebih berupaya untuk memahami prilaku yang tidak mereka mengerti daripada hanya menilai sebagai prilaku yang buruk, tidak masuk akal, dan tidak bermakna, (5) mereka pandai dalam menganalisa hasil observasi yang tidak cermat tentang prilakunya dan prilaku orang lain, (6) mereka mampu membangun hubungan yang lebih baik dengan orang-orang dimana ia berada (sebagai pendatang), (7) mereka tidak etnosentris (mereka lebih dahulu memahami budaya dan prilaku dinegara yang mereka datangi berdasarkan standar budaya dimana mereka tinggal) (P.424).

Gudykunst, Wiseman, dan Hammer menerangkan bahwa orang-orang biasanya tidak menggunakan perspektif budaya-ketiga (third-culuture prespektif) ketika berkomunikasi. Mereka berpendapat bahwa keterampilan dan pengetahuan seseorang akan mempengaharui komunikasi. Tapi, mereka berpendapat bahwa pengetahuan dan keterampilan tidak terikat dengan kemampuan komunikasi.

Hammer, Gudykunst, dan Wiseman (1978) meninjau ulang efektifitas komunikasi untuk memperoleh daftar 24 keterampilan yang berkaitan dengan proses interaksi yang efektif dengan orang asing. Seseorang yang tinggal pada wilayah budaya yang berbeda (lebih dari 3 bulan) terkadang menggunakan keterampilan tersebut untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan budaya yang berlaku di tempat tersebut. Ada 3 dimensi prilaku yang berhubungan dengan efektifitas komunikasi.

1.      Kemampuan untuk mengurangi ketegangan secara fisikologis.

2.      Kemampuan berkomunikasi secara efektif.

3.      Kemampuan untuk menjaling hubungan yang lebih bermakna.

Dimensi kemampuan untuk mengurangi ketegangan fisikologis meliputi kemampuan untuk mengurangi (mengatur prustasi, stres, kecemasan, tekanan, aliniasi sosial, kesulitan finansial, dan konflik antar personal. Dimensi kemampuan berkomunikasi secara efektif meliputi kemampuan untuk melakukan percakapan yang lebih bermakna denagn orang lain, menginisiasi dengan oranf lain, bekerja lebih efektif dengan orang lain, dan penyesuaian diri dengan terhapa perbedaan kebiasaan sosial. Hammer dan kelompoknya menegaskan bahwa ketiga dimensi tersebut mempengaharui efektivitas komunikasi. Tetapi dimensi tersebut bukan merupakan isi dari defenisi kemampuan.

Pendapat lain tentang pemahaman lintas budaya mendukung pendapat diatas, seperti Abe dan Wisman (1983) “Replikasi” dari hammer (1978) melakukan pengkajian dengan turis Jepang di Amerika Serikat. Penelitian Abe dan Wisman menemukan 5 dimensi yang berhubungan dengan efektifitas , dimensi tersebut tidak jauh beda dengan 3 dimensi sebelumnya. Perbedaan dalam penemuan ini dapat dijelaskan secara sederhana yakni pada lamanya pengalaman seseorang dalam budaya lain.

Penelitian dalam komunikasi yang efektif dengan orang asing dan kompetensi antar budaya tidak tersusun secara sistematis. Memberikan perhatian lebih untuk mengurangi ketidakpastian dan kecemasan pada saat berkomunikasi dengan orang asing berarti kita berfokus pada faktor-faktor yang berhubungan dengan proses komunikasi. Untuk memahami faktor-faktor tersebut , dibutuhkan pemahaman tentang komponen-komponen yang membentuk kemampuan konikator.

Akhirnya Gudykunst menyimpulkan bahwa orang yang efektif dalam berkomunikasi dengan orang asing adalah mereka yang tidak menggunakan pespektifnya sendiri ketika menginterpretasi prilaku orang lain dari satu budaya ke budaya lainnya. Lebih lanjut, komunikator yang efektif menggunakan perspektif budaya ketiga yakni yang bertindak sebagai sebuah rantai psikologis yang menghubungkan antara perspektif budaya dan orang asing tersebut.

C. Komponen-komponen pembentuk kemampuan komunikasi

Kita mungkin memiliki motivasi yang tinggi tetapi kurang pengetahuan dan keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif. Kita juga mungkin punya motifasi dan pengetahuan yang tinggi tetapi keterampilan yang rendah. Jika kita memiliki motivasi, pengetahuan, dan keterampilan, itu belum bisa menjamin bahwa kita bisa berkomunikasi secara efektif. Ada beberapa faktor yang mempengaharui oerilaku kita. Sebagai contoh, mungkin kita memiliki reaksi emosi yang tinggi terhadap suatu peristiwa. Reaksi emosional tersebut akan menyebabkan kita bertindak secara langsung diluar dari pemahaman yang telah kita pelajari sebelumnya. Jika seseorang tidak dapat mengontrol emosinya maka orang lain akan menilainya sebagi orang yang tidak memiliki kompetensi dalam komunikasi.

Lawan bicara pada saat berkomunikasi bisa saja menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk kemampuan komunikasi kita. Jika lawan bicara mengatakan bahwa kita tidak memiliki kompetensi maka kita akan berusaha berperilaku sebagai orang yang tidak kompeten dalam berkomunikasi. Kita bisa saja berperilaku secara efektif tanpa pemahan tentang cara meniru perilaku orang lain. Proses ini bisa dapat dilakukan pada saat kita sedang berkomunikasi dengan orang yang memiliki perilaku yang berbeda jika tidak memiliki pemahaman dengan orang tersebut, tapi ini bukanlah strategi terbaik. Hal ini menegaskan bahwa “pengetahuan tanpa keterampilan tak dapat digunakan dalam kehidupan sosial, dan keterampilan tak dapat tumbuh tanpa kemampuan memahami permintaan permintaan dan paksaan situasi.

Motivasi, pengetahuan, dan keterampilan saling berinteraksi atau mempengaharui dalm jasil komunikasi dengan oran glain untuk memperluas kemampuan persepsi kita. Ada 2 hasil yang mungkin terjadi yakni perilaku kita dipandang tepat ataukah efektif. Hasil lain yang mungkin bisa dicapai adalah meliputi ketertarikan antar personal, kepercayaan, kepuasan terhadap komunikasi, meningkatkan hubungan antar personal, konflik, resolusi, adaptasi, denagn budaya lain, dan pengembangan komunitas.

Spitaberg dan Cupach (1984) membatasi tiga komponen utama dari kemampuan komunikasi itu yakni motivasi, pengetahuan, dan keterampilan. Motivasi merujuk pada keinginan kita untuk berkomunikasi secara tepat dan secara efektif dengan orang lain. Pengetahuan merujuk pada kesadaran kita dalam memahami apa yang mesti dilakukan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif. Sementara, keterampilan adalah kemampuan kita untuk bertindak dalam perilaku-perilaku yang dibutuhkan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif.

1. Motivasi

Menghindari kecemasan atau kegelisahan adalah motivasi faktor penting dalam komunikasi dengan orang lain. Kecemasan antar kelompok adalh rasa takut yang berlebihan atas konsikuensi negatif yang mungkin terjadi qpada saat berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budaya. Jika kecemasan kita semakin meningkat, maka kita akan sangat membutuhkan pemikiran yang rasional, dan konsep diri yang baik untuk memahami situasi. Kecemasan yang semakin tinggi akan membuat kita menghidari komunikasi dengan orang asing.

Kombinasi antara keinginan untuk mengurangi kecemasan dan keinginan untuk mempertahankan konsep diri akan membuat kita akan mendekati ataukah menghindari tujuan hubungan antar kelompok. Kebanyakan orang ingin menjadi orang tidak dinilai buruk dan perhatian. Tetapi bagaimanapun kita ingin berkomunikasi dengan orang asing untuk memperthankan konsep diri kiat.

Kebanyakan orang lebih memilih menghabiskan waktu untuk berinterkasi dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Interkasi langsung dengan orang yang berbeda latar belakang dengan kita sangat terbatas. Jika tujuan kita dalam berkomunikasi dengan orang asing tidak tercapai dan kita tak mampu keluar dari situasi tersebut denganmudah, maka ketdaksabaran kita buth untuk mengelompokkan masukan-masukan yang menyebabkan terjadinya ketidakpuasan. Hal ini akan membimbing kecemasan tentang diri dan pemahaman kita pada pengelompokkan konteks. Hal terpenting yang mesti diketahui bahwa kita dapat mengatur atau mengurangi kecemasan kita secara sadar melalui peningkatan perhatian atau tolernsi pada hal-hal yang dianggap ambingu dan berfikir dengn baik pada saat berkomunikasi (telah dibahas sebelumnya).

Bellah, madsen, sulvivan, swidler, dan tipton (1985) menerangkan bahwa kita perlu untuk memperhatikan kemampuan pengetahuan kita secara umum karena “ dengan pemahaman secara eksplisit tentang apa yang kita ketahui dan tujuan yang ingin dicapai bersama, maka mita dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan perselisihan pada saat berkomunikasi” (P. 287) dengan mengetahui tingkat pengetahuan kita, maka kita akan menilai/berfikir dengan baik (mindfull prejudices). “Rasisme, seksisme, homopobia, agama, dan tidak toleran pada suatu budaya......adalah cara menyangkal bahwa semua orang adalah sama sengan kita”. 

Penelitian langer menerangkan bahwa kepuasan atas rasa keingintahuan tiap individu tentang perbedaan-perbedaan dan pemahaman dapat terjadi. Dia berpendapat bahwa rasa keingintahusan itu adalh salah satu jalan untuk berfikir lebih hati-hait tentang perbedaan –perbedaan, dan hal tersebut bukan hal yang sifatnya tabu. Salah satu cara agar kita masing-masing dapat menggunakan proses berfikir yang lebih baik dalam komuniakasi adalah dengan menerima pernyataan-pernyataan orang laintentang kita dan kelompok kita sebagai informasi sampai kita memahami adanya motivasi yang lain dalam komunikasi.

Kita juga dapat terbuka dengan informasi baru dengan memperbaiki kembali pengharapan kita. Sebagai contoh, kita harus fleksibel, terhadap stereotip negatif dari kelompok lain. Kita juga dapat mengubah isi stereotip atau menganggapnya biasa-biasa saja. Harvey, Hunt, dan Shorder (1961) menegasakan bahwa orang-orang memiliki tingkat kemaluan/kebijakan yang berbeda untuk mengubah stereotip yang melekat pada dirinya, atau dengan kata lain, tingkat keterbukaan-ketertutupan terhapad stereotip mereka. Dalam menerapkan konsep ini untuk berintraksi lintas simbol/ lambang nasional,  Hal ini  menerangkan bahwa:

Image (kesan) akan “tertutup” pada tingkatan dimana seseorang terlalu menghormati sifat-sifat yang melekat dalam sebuah objek... semakin “terbuka” suatu image maka orang-orang akan semakin tertarik untuk memahami atau mengetahui sifat-sifat yang melekat pada suatu objek yang belum dikenali sebelumnya, dan sifat-sifat lain yang diketahui akan menempatkan persamaan & perbedaan dala hubungan dengan objek,.

Berpegang pada stereotip secara tertutup akan berkaitan secara langsung dengan munculnya ketidaktepatan pemaknaan dan prediksi tentang prilaku orang asing. Sedangkan bersikap terbuka pada stereotip akan meningkatkan ketepatan dalam memaknai dan memprediksi prilaku orang asing. Secara spesifik, jika stereotip kita bersifat terbuka, maka kita akan membuka persepsi prilaku yang tidak berhubungan dengan stereotip, hal itu akan memungkinkan kita untuk memaknai dan memprediksi prilaku orang asing dengan tepat. Kita juga harus memperhatikan apakah stereotip yang kita dapat berlaku pada banyak orang atau berlaku pada semua dalam satu kelompok.

2. Pengetahuan

Jenis pengetahuan yang sangat berperan dalam membangun komunikasi yang efektif adalah pengetahuan dan kemampuan kita berbicara dalam bahasa orang lain dan pengetahuan kita tentang budaya orang lain. Pengetahuan budaya ini dan bagaimana mereka berbeda dan sama dengan budaya kita memiliki efek langsung dalam mempengaruhi prediksi dan interpretasi kita terhadap perilaku orang lain. Jika kita tidak tahu apa-apa maka sangat mungkin kita membuat prediksi dan interpretasi yang tidak akurat tentang budaya orang lain.

Aspek lain dari pengetahuan yang dapat mempengaruhi interaksi yang efektif dengan orang asing yakni pemikiran kita tentang prilaku manusia. Sangat berbeda antara pemikiran tentang prilaku manusia. Singkatnya, pernakah anda membaca buku kimia yang pembukaannya tentang “oxigen 15 great”!? mungkin tiodak pernah. Tapi anda mungkin pernah membaca buku yang pembukaannya seperti “orang jepang (ataukah membaca buku yang permulaannya dimulai dengan (oxigen is great), anda mungkin akan langsung meninggalkannya. Sebaliknya, jika kamu mengambil buku yang permulaannya diawali dengan (orang jepang sangat peramah), anda mungkin tidak akan berfikir yang lain dan akan melanjutkan membacanya, jika kamu berhenti membaca dan berfikir sejenak, anda akan menemukan bahwa kedua kalimat tersebut tidak berpengaruh dengan pemahaman kita terhadap prilaku khusus yang kita pelajari. Keduanya tidak menjelaskan kepada kita tentang prilaku oksigen dan orang jepang : tetapi keduanya hanyalah cara menulis untuk memaknai dan mengevaluasi suatu prilaku.

Ada 3 proses kesadaran yang saling berhubungan dalam pembahasan ini : penggambaran (deskription), pemaknaan (interpretation), dan penilaian (evaluation) (Wendt, unclated). Komunikator yang efektif pastinya akan membedakan 3 proses ini, sedang komunikator yang tidak efektif tidak akan membedakan ketiganya. Melalui penggambaran (description) kita akan memahami laporan aktual tentang apa yang sudah kita observasi dengan tingkat ganguan yang rendah dan tanpa melekatkan sifat sosial pada suatu prilaku. Deskripsi meliputi apa yang kita lihat dan dengar dan disatukan dalam suatu catatan observasi.

Untuk menjelaskan proses ini, kita menggunakan contoh berikut :

Deskrpsi

Seorang guru sedang duduk diatas meja, memakai celana jeans yang ketat sudah luntur.

Pernyataan diatas adalah deskripsi yang sifatnya alami. Tidak ada penambahan sifat sosial didalamnya, hanya mengungkapkan apa yang dilihat oleh observer. Jika kita menambahkan aspek sosial dalam pernyataan tersebut, maka kita akan terikat dalam suatu pemaknaan. Dengan kata lain, pemaknaan adalah pemikiran kita terhadap sesuatu yang kita lihat dan dengar. Hal penting yang mesti diingat adalah beragam pemaknaan dapat muncul pada satu deskripsi prilaku, contoh yang lain adalah sebagai berikut :

Deskripsi

Seorang guru sedang duduk diatas meja, memakai jeans yang sudah luntur.

Pemaknaan

Guru itu suka penampilan informal (santai)

Guru itu tidak peduli tentang penampilannya

Guru itu tidak mengikuti aturan dalam berprilaku

Guru itu tidak punya uang yang cukup untuk membeli pakain yang lebih Bagus.

Tentu saja, berbagai penilaian dapat terjadi, tetapi kedua pemaknaan tetrsebut dapat menjadi potensi dalam perbedaan antar budaya. Di amerika serikat, penilaian pertama sudah menjadi sesuatu yang biasa karena kebiasaan informal dalam sitem pendidikan mereka. Tetapi bagi budaya yang lain, penilaian kedua dianggap lebih tepat. Di jepang misalnya, para guru diharapkan berpenampilan sesuai dengan pekerjaannya dan seorang gurui duduk diatas meja dianggap sebagai prilaku yang tidak pantas untuk diterapkan.

Jika kita tak mampu membedakan ketiga proses ini, itu sama saja dengan menghapus proses deskripsi dan lompat pada proses pemaknaan atau penilaian ketika mengalami kesulitas dalam menghadapi prilaku yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman makna dan menghasilkan komunikasi yang tidak efektif. Kemampuan membedakan 3 proses ini akan membuat kita mampu memahami makna alternatiof terhadap prilaku orang asing dan menghasilkan efektifitas komunikasi. Selain itu, kita dapat mempredikasi secara tepat tentang prilaku ornag asing, jika kita mampu menggambarkan prilaku orang asing, kita akan memprediksi prilakunya scara tepat karena kita dapat melihat pula prilaku alternatifnya.

Ada 5 prinsip terapi kesadaran (kognitif) yang berguna untuk memahami bagaimana kesalahan interpretasi dapat terjadi:

  1. Kita tidak pernah tahu tentang pikiran, sikap, perasaan orang lain
  2. Kita tergantung pada signal yang pada dasarnya bersifat ambigu
  3. Kita hanya menggunakan system kode kita
  4. Bergantung pada cara pandang sendiri serta pada waktu tertentu
  5. Tingkat kepercayaan kita dalam mendefinisikan perilaku orang lain tidak didasarkan pada analisa yang akurat dan aktual.

3. Keterampilan

Keterampilan dalam komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan untuk mengurangi kegelisahan dan ketidakpastian kita. Ada dua cara atau langkah untuk mengarungi ketidakpastian dan kegelisahan yakni: berfikir dengan baik (hati-hati) dan lebih memperhatikan hal yang dianggap masih ambigu. Untuk mengurangi ketidakpastian kita, dibutuhkan minimal 3 keterampilan: empati, perilaku yang fleksibel, dan kemampuan untuk megurangi ketidakpastian itu sendiri.

 Langer (1989) mengemukakan beberapa cara untuk meningkatkan proses berfikir (kehati-hatian) dalam komunikasi yakni: (1) Membuat kategori (pengelompokan) baru, (2) Terbuka terhadap informasi baru, dan (3) Memahami lebih dari satu perspektif (p.62). Dia menegaskan bahwa proses pengelompokan (kategorisasi) adalah aktifitas manusia yang tumbuh seacar alami. Hal itu adalah cara untuk lebih memahami dunia.    

Langer mengemukakan bahwa hal yang kita butuhkan adalah belajar lebih banyak tentang berbagai perbedaan manusia. Untuk mengilustrasikannya, Langer memberi contoh orang yang dikategorikan sebagai ”orang pincang”. Jika kita melihat semua orang yang ada dalam kategori ini adalah sama, berarti kita telah mulai untuk mengelompokkan orang berdasarkan identitasnya. Jka kita menggambarkan perbedaan lain dalam kategori ini (membuat kategori baru), disisi lain kita tidak akan mengkategorikan seseorang dalam pengelompokan sebelumnya. Jika kita hanya melihat orang yang memakai ”celana puntung”, kita tak mesti mengkategorikan mereka sebagai orang ”pincang”.

Bersikap terbuka pada informasi baru dan memahami lebih dari satu persepsi berarti kita akan lebih fokus pada proses komunikasi bukan pada hasil komunikasi. Langer menegaskan bahwa:

Berfokus pada hasil komunikasi akan menyebabkan ketidakhati-hatian/ketidakpahaman. Karena kita mersa tahu bagaimana cara menangani situasi, kita tak akan memberi perhatian lebih. Jika kita menanggapi situasi tertentu dengan cara yang biasa, kita hanya akan dapat hal-hal kecil dalam memahami proses komunikasi. Di sisi lain, jika situasi tersebut menjadi kacau, maka kita kan sulit memahami dan menanganinya karena lemahnya pemahaman kita terhadap perilaku orang lain dalam proses komunikasi. Dalam hal ini, kita telah gagal (lemah dalam berfikir) dalam menanggapi situasi tertentu meskipun kita mungkin telah banyak berfikir tentang hasil yang diharapkan dari komunikasi. (p.34).       

           Langer yakin bahwa berfokus pada proses komunikasi akan meningkatkan kesadaran dalam berprilaku dan lebih perhatian terhadap situasi dimana kita dapat menemukan diri kita sebenarnya. Hanya dengan berfokus pada proses komunikasi, kita akan dapat membedakan perbedaan pemaknaan yang kita lakukan dengan pemaknaan yang dilakukan orang lain terhadap suatu pesan.

            Kita sering berprilaku lebih hati-hati pada saat berkomunikasi dengan orang asing karena mungkin perbedaan cara berpakaian atau karena kita tidak tahu petunjuk cara berkomunikasi dengan mereka. Masalahnya adalah kita lebih sering berfokus pada hasil yang ingin dicapai daripada berfokus pada proses komunikasi. Jika kita telah mampu memaknai perilaku orang lain berdasarkan kerangka berfikir kita, maka untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang asing, kita butuh lebih berfokus pada proses komunikasi, bahkan ketika kita menjalin hubungan yang lebih akrab dengan mereka. Kita tidak perlu mengharpakan semua orang untuk berfikir hati-hati setiap saat karena hal itu mustahil dilakukan. Kita hanya mengingatkan bahwa kesalapahaman dapat terjadi dalam komunikasi. Ketika hal itu terjadi, maka kita harus lebih fokus memperhatikan proses komunikasi yang terjadi.

            Ketika kita berfikir dengan cermat maka kita dapat meningkatkan efektifitas komunikasi yang kita lakukan. Kita dapat menegosiasikan makna dengan orang lain. Negosiasi makna meliputi proses klarifikasi (memahami) makna dalam percakapan ketika terjadi kesalahpahaman (Varonis & Gass, 1985). Tehnik lain yang bisa digunakan jika tejadi kesalahpahaman adalah ”melakukan pengulangan/repair”. Repair (pengulangan) dapat dilakukan dengan meminta orang lain mengulangi apa yang sudah dikatakannya ketika kita belum paham (Gass & Varonis, 1985).

            Negosiasi makna dan pengulangan adalah bentuk dari metakomunikasi – berkomunikasi tentang apa yang kita telah komunikasikan (metacommunication). Aspek lain dari metakomunikasi yang relevan dengan proses berfikir dengan baik (mindfull) adalah feedback (umpan balik). Hal lain yang erat kaitannya dengan proses berfikir dengan baik adalah proses mendengarkan secara efektif. Untuk dapat mendengarkan secara efektif, maka kita harus berfikir dengan baik pada saat berkomunikasi.

            Keterampilan kedua yang dibutuhkan untuk megatur kecemasan/ketidakpastian kita adalah tolerasi (perhatian) terhadap hal-hal yang dianggap masih ambigu. Tolerasi (perhatian) terhadap hal-hal yang dianggap masih ambigu menghasilkan kemampuan untuk memahami situasi dengan baik meskipun banyak informasi yang dibutuhkan dalam berkomunikasi secara efektif tidak dipahami. Menurut ruben dan Kealey (1979):

Kemampuan untuk berreaksi pada situasi yang ambigu dan baru dengan sedikit kegelisahan adalah sebuah potensi yang penting untuk menyesuaikan diri dengan budaya baru... Kegelisahan yang berlebihan muncul dari lingkungan yang baru dan berbeda dari sebelumnya atau karena adanya perubahan lingkungan yang sebelumnya kita sudah kenal, hal ini dapat menyebabkan kebingungan, frustasi, dan permusuhan antar personal. Beberapa orang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan yang baru dengan mengubah cara pergaulan dalam lingkungan. (p.19)

            Ruben dan Kealey menegaskan bahwa orang yang lebih toleran (perhatian) terhadap sesuatu yang ambigu dapat meyesuaikan diri secara efektif dengan budaya yang baru daripada orang yang memiliki toleransi yang rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki toleransi tinggi terhadap sesuatu yang dianggap masih ambigu akan dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang asing daripada orang yang memiliki toleransi yang rendah terhadap sesuatu yang ambigu.

            Hal yang berkaitan dengan sikap toleransi terhadap sesuatu yang ambigu adalah prasangka dan sikap etnosentris. Etnosentrisme adalah pahaman yang menganggap bahwa kelompok sendiri sebagai kelompok yang paling utama daripada kelompok yang lain dan selalu membuat penilaian terhadap sesuatu yang ada disekitarnya berdasarkan pandangan kelompoknya. Orang yang memiliki toleransi yang rendah akan bersikap etnosentris dan selalu berprasangka. Sedangkan, etnosentris dan prasangka tidak berhubungan dengan efektivitas komunikasi dengan orang asing. Etnosentris dan prasangka hanya akan membuat kita memaknai orang asing berdasarkan prespektif budaya kita sendiri. Dengan kata lain, sikap etnosentris dan prasangka yang berlebihan membuat orang-orang tak dapat memahami pemaknaan dan penilaian perilaku orang asing. Untuk memahami perilaku komunikasi orang asing, kita mesti menggunakan prespektif budaya mereka, bukan budaya kita sendiri. Selain itu, kita mesti mendahulukan sikap empati (keterampilan utama dalam mengurangi ketidakpastian) daripada sikap simpati.

            Simpati adalah ”membayangkan tentang posisi diri kita berdasarkan penilaian orang lain” (Bennett, p.411). Simpati sama dengan sikap etnosentris, menggunakan kerangka/prespektif kita sendiri dalam memaknai rangsang baru dan berbeda. Menurut Bennett, jika kita menerapkan Golden Rule (berprilaku pada orang lain berdasarkan kemauan/keinginanmu sendiri) dalam berinteraksi dengan orang asing, maka kita akan menjadi orang yang simpatik karena kita hanya menggunakan standar perilaku sendiri dalam berprilaku dengan orang asing. Sedangkan empati adalah berupaya memahami pengalaman/perasaan orang lain. Prespektif yang digunakandalam empati bukanlah prespektif kita tetapi prespektif orang asing. Bennet mengajukan hal yang berbeda dengan Golden Rule yakni, Platinum Rule, yang berarti mendahulukan empati daripada simpati (berprilaku pada orang lain berdasarkan apa yang diinginkan oleh orang tersebut) (p.422). singkatnya, menggunakan simpati dalam berinterkasi dengan orang asing bisa saja lebih banyak mengakibatkan kesalahpahaman daripada kesepahaman. Sedangkan penggunaan empati akan meningkatkan kesepahaman dengan orang lain.

       Empati adalah faktor penting untuk menciptakan komunikasi yang efektif, bukan saja di Amerika tetapi juga pda budaya yang lain. Sebagai contoh, Hwang, Chase, dan Kelly (1980) menyimpulkan bahwa:

Orang Amerika, orang Cina Amerika, dan orang cina secara keseluruhan saling berbagi tentang beberapa pandangan dasar dalam menciptakan efektifitas komunikasi antar personal. Dimensi empati menjadi faktor paling penting dalam pandangan mereka. Sekali lagi ditegaskan bahwa mungkin tak ada faktor yang lebih penting dari empati dalam membangun hubungn interaksi manusia yang efektif. (p.76)                

           Karakteristik khusus yang melekat dengan empati dalampembahsan ini adalah ”mendengarkan dengan baik (hati-hati) terhadap apa yang dikatakan orang lain”, ”berupaya memahami perasaan orang lain”, ”menunjukkan ketertarikan dengan apa yang orang lain katakan”, ”kepekaan terhadap kebutuhan orang”, dan ”memehamidengan mudah pokok pembicaraan orang lain” (p.74).

            Keterampilan kedua yang dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian adalah perilaku yang fleksibel. Untuk dapat memahami informasi dan beradaptasi dengan orang asing maka kita harus berprilaku fleksibel. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahsan tentang pengetahuan, kita mesti mampu memilih strategi yang tepat untuk dapat memahami informasi dan beradaptasi dengan orang asing agar dapat berkomunikasi secara efktif dengan mereka.

            Kita juga mesti mampu beradaptasi dan mengakomodasi perilaku kita terhadap kelompok yang lain jika ingin sukses dalam berinteraksi dengan mereka. Salah satu aspek penting untuk beradaptasi adalah kemampuan berbicara dengan menggunakan bahasa orang lain (seminimal mungkin mampu menggunakan frase bahasa lain). Jika kita hanya mengharapkan orang asing berbicara menggunakan bahasa kita maka akan sulit tercipta komunikasi yang efektif dengan mereka. Triandis (1983) mengemukakan bahwa pentingnya menggunaka bahasa orang lain tergantung pada situasinya, stidaknya ketika anda berada pada:

Beberapa budaya orang asing tertarik untuk megetahui bahasa lokal. Orang Prancis yang datang ke Amerika Serikat tanpa kemampuan barbahasa inggris atau orang amerika yang datang ke Prancis tapi hanya mampu sedikit berbahasa prancis akan berusaha memahami bahasa lokal. Sebagai contoh, saya mendapatkan pengalaman yang berbeda dari teman saya pada saat di Paris. Dia menemukan banyak ketidaksopanan orang Prancis sedangkan saya menemukan orang prancis yang cukup sopan. Perbedaannya adalah saya berbicara lebih baik dengan orang prancis dibandingkan wisatawan pada umumnya. Dalam budaya lain, para wisatawan tidak diperkenankan mengetahui bahasa lokal. Sebagai contoh, di Yunani, orang asing tidak dizinkan untuk mengetahui bahsa yunani meski hanya sedikit, hal ini dianggap sebagai hal yang normal bagi masyarakat setempat. (p.84)

Beberapa tujuan dalam penggunaan bahasa lokal adalah untuk mengenali kegemaran/kesukaan orang-orang dan budaya ditempat tersebut.

            Hal yang dibtuhkan agar dapat menyesuaikan perilakuk tidak terbatas hanya pada penggunaan bahsa orang lain pada saat berbicara. Kita juga perlu untuk menyesuaikan perilaku non verbal kita. Jika kita hanya menggunakan aturan kita dalam berkomunikasi, maka akan timbul kesalahpahaman pada saat berkomunikasi dengan orang asing.

            Keterampilan terkahir yang kita bahas adalah kemampuan untuk mengurangi ketidakpastian itu sendiri. Jika kita berprilaku fleksibel kita akan mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk mengurangi ketdakpastian kita. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, mengurangi ketidakpastian berarti kita mampu untuk menggambarkan perilaku orang lain, menggunakan pemaknaan yang tepat terhadap pesan yang mereka sampaikan, memprediksi perilaku mereka dengan tepat, dan mampu menjelaskan perilaku mereka. Jika kita juga mampu mengontrol kecemasan kita, maka kemampuan-kemapuan diatas dapat digunakan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang asing.  

D. Mengatur konflik dengan orang lain

Konflik dapat terjadi dalam berbagai hubungan. Konflik pada dasarnya bisa bermakna positif dan bisa bermakna negatif. Cara kita mengatur konflik dalam hubungn dengan orang lain memiliki konsekunsi positif dan negatif.

Thomas (1983) mendefinisikan konflik diadik sebagi proses yang dimulai ketika satu bagian merasa bahwa orang lain itu frustasi. Definisi ini meliputi fenomena secara luas. Konflik dapat muncul melalui sumber instrumental (seperti; perbedaan tujuan dan tindakan) atau dari ekspresi (seprti; keteganga/perselisihan, atau biasaya karena permusuhan)

Dalam mengatur konflik dengan orang asing, kita perlu membangun apa yang disebut oleh Gibb (1961) sebagai supportive climate. Ada beberapa karakteristik dari supportive climate adalah sebagai berikut:

Karakteristik pertama adalah melakukan deskripsi kemudian melakukan penilaian. Kita tidak dapat memahami seseorang jika kita menilai mereka terlebih dahulu sebelum memahami posisi mereka. Dengan deskripsi yang tepat, kita akan memahami bagaimana cara orang lain memaknai sesuatu yang terjadi.

Karakteristik kedua adalah memahami masalah tujuan yang sebenarnya. Memahami masalah bersama dan berupaya mendapatkan solusi agar didapatkan hasil/tujuan yang didinginkan dalam berkomunikasi. Kita mungkin telah memikirkan tujuan yang ingin dicapai dan kita berupaya memahamkan tujuan tersebut pada orang lainkemudian kita beusaha mengontrol orang tersebut. Tetapi terkadang hal ini mendapatkan pertentangan dari orang lain.

Karateristik ketiga adalah menggunakan spontanitas sebagai bagian dari strategi. Jika kita tampak menyembunyikan motif dan berperilaku pada orang lain dengan strategi tertentu, maka akan menimbulkan  sikap defensif pada orang lain. Tetapi, jika orang lain bersikap spontan tanpa strategi pada kita maka kita tiadak akan bersikap defensif.

Karakteristik keempat adalah empati. Jika kita berempati dalam komunikasi dengan orang lain, maka mereka akan tahu bahwa kita fokus pada apa yang ia katakan. Jika orang bersikap netral pada kita maka kita akan bersikap defensif.

Karakteristik kelima adalah kesetaraan (merasa kedudukannya sama pada saat berkomunikasi). Jika kita berbicara seolah-olah menjadi sesuatu yang superior, maka orang lain akan bersikap defensif pada kita. Jika kita ingin mengatur konflik dengan orang asing, kita mesti mendekatkan persamaan-persamaan yang dimiliki dan lebih sensitif serta memposisikan diri kita setara dengan mereka.

Karaketristik yang terakhir (keenam) adalah provisionalisme. Jika kita berkomunikasi dengan orang lain, maka kita terbuka terhadap sudut pandang mereka dan ingin berinteraksi dengan perilaku kita. Dengan demikian orang lain tidak akan bersikap defensif. Di sisi lain, jika kita berkomunikasi dengan menampakkan bahwa sikap dan perilaku kitalah yang paling benar dan pasti maka orang lai akan bersikap defensif.

Karakteristik diatas pastilah sangat sering kita dengarkan. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya sama. Gibbs dan Langer memeiliki pendapat yang sama bahwa sikap dalam mengatur konflik mesti berdasarkan pertimbangan/pemikiran yang cermat (mindfull). Agar dapat berfikir dengan cermat maka kita harus membuat kategorisasi/pengelompokan baru (diperlukan untuk membuat suatu penggambaran sikap dan perilaku orang lain), bersikap terbuka atas informasi baru, tidak cepat yakin sebelum mendapatkan informasi yang valid. Hal ini akan lebih berfokus pada proses komunikasi bukan pada hasil yang diinginkan dari komunikasi.

Roger Fisher dan Scott Brown (1988) dalam Proyek Negosisasi Harvard menegmukakan beberapa pendekatan yang berhubungan dengan negosiasi. Asumsi awal mereka adalah bahwa setiap orang dapat mengubah suatu hubungan. Jika kita mengubah tindakan kita terhadap orang lain, mereka juga akan mengubah tinadakannya pada kita. Tujuan dari perubahan sikap/tindakan tersebut dalah terciptanya suatu hubungan yang saling menerima berbagai perbedaan (p.3). melakukan perubahan berarti kita memisahkan suatu hubungan dengan berbagai masalah kemudian memahamkan tujuan yang ingin dicapai dalam tiap kondisi komunikasi.

Fisher dan Brown mengemukakan pendapat tentang negosiasi efektif. Pendapat mereka sederhana, mereka yakin bahwa kita harus selalu bersikap konstruktif. Intinya bahwa kita mesti:

Lakukan sesuatu yang baik untuk suatu hubungan dan baik bagi diri kita, meskipun orang lain tak membalas kebaikan kita.

1.      Rasionalitas. Meskipun orang lain bertindak orang lain,kita mesti menyeimbangkan emosi kita dengan pertimbangan yang tepat.

2.      Kesepahaman. Meskipun orang lain salah paham terhadap kita, tetapi kita harus tetap bisa memahami mereka

3.      Komunikasi. Meskipun mereka tidak mendengarkan dengan baik, tetapi kita mesti membimbing mereka sebelum memutuskan sesuatu yang dapat berpengaruh bagi mereka.

4.      Dapat dipercaya. Meskipu orang lain beupaya menipu ataupun tidak percaya pada kita, tetapi kita tetap berusaha mempercayai mereka. Jadilah orang yang dapat dipercaya.

5.      Tidak memaksa orang untuk memepengaruhi. Meskipun orang lain memaksa kita, tetapi kita tetap berupaya mendekati orang dengan cara yang lebih persuasif.

6.      Penerimaan. Meskipun orang lain menolak kita, tapi kita berupaya menerimanya, peduli terhadap mereka, dan bersikap terbuka untuk berinteraksi dengan mereka.

Hanya sedikit orang yang dapat menerapkan keenam hal tersebut dalam komunikasi sehari-hari dengan orang lain. Untuk menerapkan petunjuk-petunjuk Fisher dan Brown, kita mesti berfikir dengan baik (mindfull).

RINGKASAN

Komunikasi yang efektif adalah upaya untuk mengurangi kesalahpahaman. Dengan kata lain apa yang dikatakan oleh komunikator dapat di maknai oleh komunikan. Untuk dapat berkomunikasi secara efektif maka kita mesti memperhatikan 3 hal yakni, motivasi, kemampuan, dan keterampilan komunikasi. Kita harus memiliki motivasi yang tinggi dalam melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan orang asing. Kita harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi untuk memngurangi/menghilangkan kesecmasan dan ketidakpastian. Untuk mengurangi kecemasan, kita harus berfikir lebih hati-hati dan bersikap toleran/perhatian terhadap hal-hal yang dianggap masih ambigu. Untuk mengurangi ketidakpastian, kita mesti bersikap empati, fleksibel, dan menggunakan keterampilan untuk memahami pengetahuan dan budaya serta etnisitas orang lain ketika dibutuhkan.

Konflik bisa saja terjadi pada saat kita berkomuikasi dengan orang asing. Konflik dapat berdampak positif ataupun negatif. Cara untuk mengatur konflik adalah hal yang sulit. Untuk mengatur secara konstruktif dan berkomunikasi secara efektif maka kita harus memahami kondisi orang yang berkonflik dengan kita dan berupaya membangun suasana yang dapat mendukung penyelesaian konflik.    

Daftar Pustaka

Fisher, B Aubrey. 1978. Teori-Teori Komunikasi. Remaja Risdakarya.
Triandis, H. C. (1977). Interpersonal Behavior. Monterey, Calif.: Brooks/Cole Pub. Co. Triandis, H. C. (1980). Values, Attitudes, and Interpersonal Behavior. In University of Nebraska (Lincoln campus). Dept. of Psychology. (Ed.), Nebraska Symposium on Motivation (pp. 196-259). [Lincoln, Neb.]
Y kim 1991 Communication with strangers: An approach to intercultural communication. New York:McGraw,Ltd.
Gudykunst, William B. 1991. Bridging Differences-Effective intergroup Communication. London:Sage Publication.
Bennet, Milton J. (2003). ”Mengatasi Kaidah Emas: Simpati dan Empati” dalam Deddy Mulyana & Jalalauddin Rakhmat [eds]. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya
Gass, S. M & E. M. Varonis (1984). “Task Variation and Nonnative/Nonnative Negotiation of Meaning: In S. Gasss and C. Madden, eds., Input in Second Language Acquisition. Rowley, MA: Newbury House, 1984.
Gardner, R.C. (1975). Motivation and Second Language acquisition. Canadian Modern Language Review, 31, 218-230.
Bellah, Robert N., Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann Swidler, Steven M. Tipton, 1985. Habit of The Heart: Individualism and Commitment in American Life. Berkley, Los Angles: University of California Press.
Harvey,O.J.,D Hunt & H.Schroder. 1961. Conceptual System and Personality Organization. New York; Wiley.
Langer, Susanne K. Terjemahan F. X. Widaryanto. 1988. Problematika Seni. Bandung: ASTI.
Gibb, J. (1961). Defensive communication. Journal of Communication, 11, 141-148
Fisher, Roger dan Brown, Scott. Getting Together: Building a Relationship that Gets to Yes. New York: Penguin Books, 1988




1 komentar: