EFEKTIFITAS DALAM
BERKOMUNIKASI
DENGAN ORANG ASING
Terkejut
dan khawatir adalah awal dari proses
memahami
Joy. Gasset
Pendahuluan
Tujuan pembahasan ini adalah untuk menyatukan semua
pandangan mengenai komunikasi dengan orang lain melalui analisa berbagai faktor
yang dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi. Kita membagi pokok pembahasan
kedalam 4 bagian. Bagian pertama, mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
komunikasi efektif dan perbedaannya dengan kemampuan komunikasi yang
selanjutnya dipersepsikan sebagai kemampuan komunikator. Kedua, kita
menganalisa lebih dalam tentang proses komunikasi efektif dan kemampuan antar
budaya. Bagian ketiga, mempresentasikan pandangan kita tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kemampuan komunikator. Bagian terakhir, kita mempraktekkan
keterampilan berkomunikasi secara efektif untuk mengurangi perselisihan/konflik
dengan orang asing.
A. Mendefinisikan efektifitas dan kemampuan komunikasi
Dalam
sebuah film Cool Hand Luke, Paul Newton berperan sebagai luke, seorang yang
dipenjara karena merusak rambu-rambu parincir. Luke menpat masaalah dengan
salah satu pejaga penjara. Penjaga penjara tersebut kemudian berbicara pada
Luke bahwa “masaalah yang kita alami adalah karena kegagalan kita dalam
berkomunikasi”. Apa yang dikatakan oleh penjaga penjara itu masuk akal. Luke
dan penjaga penjara kemudian berkomunikasi meskipun tidak efektif.
1. Efektifitas Komunikasi
Komunikasi adalah proses pertukaran pesan dan pembuatan
makna. Orang-orang tau akan dapat menangkap makna suatu pesan yang persis sama.
Jadi komunikasi yang efektif sangat tergantung dari kemampuan kita memahami
makna pesan pada saat proses interaksi (pertukaran pesan). Dengan kata lain,
komunikasi yang efektif dapat mengurangi kesalapahaman terhapa makna pesan yang
diterima ataupun disampakan. Meskipun kita tak dapat menangkap makna pesan yang
betul-betul sama dengan orang lain, bukan berarti komunikasi yang efektif tak
dapat dilakukan, hanya saja sulit dilakukan atau tidak sempurna (Fisher,
1978 ).
Pada saat berkomunikasi,
kita menangkap makna (menginterpretasi) pesan yang kita buat dan diberikan ke
orang lain. Kita biasanya tidak sadar akan hal ini tetapi sebenarnya kita
sering melakukannya. Dua orang yang berkomunikasi dapat dikatakan berkomunikasi
secara efektif jika dapat memaknai pesan yang dikirim dan diterima meskipun
maknanya tidak sepenuhnya sama. Powers dan Lowrey (1984) mengatakan bahwa
komnikasi yang efektif dapat terjadi jika terjadi kesesuaian antara 2 orang
atau lebih pada saat berkomunikasi. Triandis (1977) menyatakan bahwa komunikasi
yang efektif terdiri dari pembuatan makna
yang sifatnya isomorpik
(isomorpik berarti menjadi sama, memahami
sifat melalui pernyataan kualitas dan
karakteristik terhadap sesuatu).
Komunikasi yang tidak efektif dengan orang asing dapat terjadi karena
beberapa alasan. Mungkin karena itu tidak menyampaikan pesan dengan baik kepada
orang lain. Orang asing juga salah memahami pesan yang kita sampaikan. Kedua,
hal ini dapat terjadi secara bergantian. Masalah tersebut dapat terjadi
disebabkan cara pengucapan kata yang tidak tepat (pronounciation), struktur
kalimat yang salah (grammar), tidak memahami topik pembicaraan, tidak saling
mengenal, tidak memahami bahasa orang lain tidak fasih menggunakan bahasa orang
lain. Dan juga disebabkan oleh faktor sosial (Gass dan Varonis, 1984). Jika
kita saling mengenal satu sama lain atau fasih menggunakan bahasa orang lain
maka kita akan lebih mudah untuk saling mengenal baik perilaku ataupun makna bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi.
Dengan demikian, secara umum semakin
besar pengetahuan budaya dan linguistic kita maka semakin kita yakin/percaya terhadap
orang asing yang berkomunikasi dengan kita. Kurangnya pengetahuan linguistic
dan budaya akan mengakibatkan kesalahpahaman karena kita “mendengar pembicaraan,
dari hipotesa tentang rutinitas yang
telah dilakukan dan kemudian menjadi pengetahuan latar
belakang social dan kesesuaian untuk kita evaluasi sikap dan perilaku mana yang
cocok.
Dalam menjalin hubungan prilaku dengan orang lain, kita
biasanya kurang sadar atas apa yang kita katakan atau lakukan, kita bertindak
sepeti terkontrol secara otomatis, hal ini
berarti kurang sadar (tidak berfikir). Namun, hasil penelitian terkini
menemukan bahwa kita tidak sepenuhnya bertindak secara otomatis. Tetapi kita
harus lebih memperhatikan proses berkomunikasi sehingga kita dapat memahami
kata kunci yang digunakan dalam percakapan.
Ketika berkomunikasi secara otomatis (automatic pilot),
kita akan memaknai pesan nyang diterimah melalui sistem simbol seperti pada
saat kita masih anak-anak. Sistem ini secara meluas meliputi sistem simbol
dalam budaya, etnis, agama, dan keluarga kita untuk memahami anggota-anggota
kelompok itu. Bagian dari sistem simbol kita adalah hal yang unik dan
berdasarkan atas pengalaman khusus. Tak ada dua orang yang dapat memehami makna
simbol dengan pemaknaan yang betul-betul sama. Makna pesan yang kita pahami dan
makna pesan yang orang lain pahami relatif sama. Tetapi, meskipun ada perbedaan
dalam memahami makna pesan bukan berarti kita dapat berkomunikasi secara
efektif.
Lebih lanjut bahwa sistem pengelompokan yang menempatkan
kita dalam posisi tertentu dapat menjadi penyebab utama terjadinya komunikasi
secara otomatis (automatic pilot) pada diri kita. Kita mengelompokkan
orang-orang kedalam suatu kelompok yang rasional menurut kita. Proses ini
biasanya didasarkan pada faktor fisik (seperti: gender, ras) atau karakteristik
budaya (seperti: latar belakang budaya atau etnis), tetapi kita juga dapat
melakukan pengelompokan berdasarkan prilaku pendekatan yang lain.
Kita menggunakan sistem pengelompokan sebagai upaya untuk
mengatur fenomena. Hasil utama dari sistem ini adalah munculnya berbagai
ideologi yakni sistem ide yang rasional, dianggap benar, dan mensucikan
kehidupan kita. Nasionalisme, komunisme, eksistensialisme, kristen, buddhysme-
semua menunjukkan identitas, aturan tindakan, dan pemakanaan bagaimana dan
kenapa sesuatu dapat terjadi dan dilakukan.
Sistem pengelompokan yang membuat kita menempatkan
orang-orang pada posisi tertentu dapat mempengaruhi pemaknaan kita. Menempatkan
seseorang dalam suatu kategori, stereotip pada orang-orang mempengaruhi
prediksi dan interpretasi prilaku mereka. Mendasarkan predksi pada proses
pengelompokkan akan menyebabkan prilaku atau tindakan yang kurang disadari). Meskipun dari informasi dari proses pengelompokkan sangat
penting untuk digunakan tetapi orang-orang dapat ditempatkan dalam berbagai
kategori yang berbeda. Untuk komunikasi yang efektif kita harus memahami
identitas dari pelaku komunikasi.
Komunikasi yang tidak efektif dengan orang asing biasanya
terjadi ketika prediksi kita bergantung hanya pada sistem simbol. Sebagai
contoh, seorang buruh berras kulit putih yang berinteraksi dengan siswa kulit
hitam dalam kelas budaya di America Serikat. Guru itu bertanya kepada siswa
kulit hitam. Ketika menjawab, siswa itu tidak menatap mata gurunya. Secara
umum, para guru memaknai prilaku tersebut sebagai prilaku yang tidak menghargai
orang lain atau siswa itu menyembunyikan sesuatu. Bagi siswa kulit putih,
menatap mata orang yang ditemani berbicara adalah prilaku menghargai orang lain
atau berkata jujur/benar. Tetapi, bagi siswa kulit hitam, tidak menatap lawan
bicara adalah bentuk prilaku menghargai orang lain. Dalam situasi ini,
kesalahpahaman dan komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi. Oleh karena
itu, proses komunikasi yang lebih baik sangat dibutuhkan.
Sebagai ringksan, komunikasi efektif meliputi proses
meminimalisir kesalahpahaman. Agar dapat berkomunikasi efektif dengan orang
asing maka kita harus lebih berfikir/memahami. Komunikasi efektif dan berbagai
pendekatan adalah aspek yang sangat penting dalam kemampuan/kecakapan
komunikator. Tetapi bagaimana pun kita dapat berkomunikasi secara efektif dan
bisa saja kita tidak memahami kemampuan komunikator.
2. Kemampuan
Ada 2 pandangan tentang kemampuan komunikasi yang muncul
secara alami. Satu pandangan yang menerangkan bahwa kompetisi terdapat pada
masing-masing komunikator, sedangkan pandangan yang lain menerangkan bahwa
kompetisi terdapat antara para komunikator .Y.Y. kim (1991) menerangkan
pandangan yang pertama. Dia berpendapat bahwa pendapat yang pertama dalah
kompetensi komunikasi antar budaya.
Kita harus memahami seseorang secara tepat tentang
kapasistas dan kemampuannya untuk memfasilitasio proses komunikasi antara
orang-orang yang berbeda latar belakang budayanya agar dapat menghasilkan
proses interaksi yang sukses. Dalam hal ini, kompetensi (kemampuan) komunikasi
antar budaya sangat dibutuhkan, tetapi tidak hanya itu, karena tingkat
kemampuan pelaku komunikasi bisa saja tak dapat menghindari kecelakaan (kesalahpahaman)
dalam berkomunikasi karena adanya faktor eksternal. Dalam hal ini, memahami
situasi pada saat berkomunkasi dapat menjadi aspek yang sangat penting untuk
dipahami (P.263).
Pendapat kedua tentang kemampuan komunikasi mengasumsikan
penilaian kompetisi (kemampuan) komunikasi muncul pada saat kita berinteraksi.
Gudyukun st (1991), mengungkapkan bahwa penilaian kita terhadap kemampuan
komunikasi pada diri sendiri tidak akan sama dengan penilaian orang lain
tentang kemampuan berkomunikasi kita. Sebagai contoh, anda menilai diri sendiri
anda sebagai orang yang memiliki kemampuan/kecakapan komunikasi yang sangat
baik. Teta[pi, pada saat berkomunikasi dengan teman, bisa saja teman anda
menilai bahwa anda memiliki kemampuan komunikasi yang buruk. Pendapat ini
menerangkan bahwa keterampilan khusus dalam berkomunikasi tidak menjamin anda
akan dianggap berkompetensi dalam proses interaksi pada situasi tertentu.
Bagaimana pun keterampilan kita dalam berkomunikasi akan semakin meeningkat
dalam proses interaksi dimana kita mampu menyesuaikan prilaku kita sehingga
orang lain dapat menilai kita sebagai orang yang cakap (kompeten) dalam
komunikasi.
Dari penjelasan 2 pendapat diatas, kedua penulis
(penggagas) tidak bersepakat. Mereka hanya bersepakat bahwa motivasi,
pengetahuan, dan keterampilan setiap individu dapat mempengaruhi efektifitas
komunikasi mereka. Mereka juga sepakat bahwa setiap orang memiliki penilaian
tentang kemampuan komunikasi terhadap orang lain. Jadi, untuk memahami kemampuan
komunikasi (Perceived comperence), kita dapat menggunakan 2 pendapat tersebut
diatas.
B. Berbagai pendekatan terhadap studi efektifitas komunikasi
Ada
beberapa karakteristik khusus yang mesti dimiliki agar dapat berkomunikasi
secara efektif. Gardener (1975) menemukakan beberapa ciri dari orang yang
mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang asing. Orang tersebut menurut
Gardener harus memiliki lima sifat dan ciri berikut: (1) kebiasaan untuk
menyatukan diri dan menjaga stabilitas diri, (2) menyatu pada organisasi yang
bersifat umum, (3) menerapkan sistem yang sesuai dengan perempuan dan
laki-laki, (4) bersosialisi dengan masyarakat secara meluas, (5) menggunakan
intuisi dan sensifitas. Kleinjans (1972) berpendapat sama dengan mengajukan
bahwa komunikator yang efektif adalah: (1) memandang orang pada posisi pertama
dan representasi budaya pada posisi kedua, (2) mengenali sesorang dengan dasar
kebaikan, (3) mengetahui nilai budaya orang lain sebagaimana dia mengetahui
budayanya sendiri, (4) dapat mengontrol tindakannya, (5)
berbicara dengan hati-hati, (6) memiliki
ketahanan diri dan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan orang lain.
Ada beberapa dimensi perilaku yang dapat
meningkatkan kemampuam komunikasi kita adalah sebagai berikut:
- Menampakkan respek positif pada orang lain
- Bentuk interaksi yang merupakan kemampuan respon untuk mendeskripsikan orang lain, bukan bentuk evaluasi, dan bukan penghakiman terhadap orang lain
- Manajemen interaksi yang ditunjukkan melalui pembahasan dan pengenalan terhadap interaksi yang didasarkan pada pernyataan kebutuhan dan keinginan orang lain secara akurat dan masuk akal.
Gudykunst,
Wiseman, dan Hammer (1977) menegmukakan bahwa orang yang berkomunikasi secara
efektif tidak hanya menggunakan prespektif budayanya sendiri dalam memaknai
perilaku orang lain yang berasal dati budaya yang berbeda. Tetapi
mengikutsertakan prespektif budaya-ketiga, yang secara psikologis berhubungan
dengan budayanya sendiri dan budaya orang asing.
Kita dapat mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki
pemahaman yang baik tentang persfektif ini akan memiliki karakteristik berikut: (1) mereka terbuka dengan ide-ide dan pengalaman baru, (2) mereka memiliki empati terhadap orang-orang yang berlatar
belakang budaya yang berbeda, (3) mereka dapat
memahami secara tepat tentang perbedaan dan persamaan antara budayanya dan
budaya orang lain,
(4) mereka akan lebih berupaya untuk memahami prilaku yang
tidak mereka mengerti daripada hanya menilai sebagai prilaku yang buruk, tidak
masuk akal, dan tidak bermakna, (5) mereka pandai dalam
menganalisa hasil observasi yang tidak cermat tentang prilakunya dan prilaku
orang lain,
(6) mereka mampu membangun hubungan yang lebih baik dengan
orang-orang dimana ia berada (sebagai pendatang), (7) mereka tidak etnosentris (mereka lebih dahulu memahami budaya dan prilaku
dinegara yang mereka datangi berdasarkan standar budaya dimana mereka tinggal)
(P.424).
Gudykunst, Wiseman, dan Hammer menerangkan bahwa
orang-orang biasanya tidak menggunakan perspektif budaya-ketiga (third-culuture
prespektif) ketika berkomunikasi. Mereka berpendapat bahwa keterampilan dan
pengetahuan seseorang akan mempengaharui komunikasi. Tapi, mereka berpendapat
bahwa pengetahuan dan keterampilan tidak terikat dengan kemampuan komunikasi.
Hammer, Gudykunst, dan Wiseman (1978) meninjau ulang
efektifitas komunikasi untuk memperoleh daftar 24 keterampilan yang berkaitan
dengan proses interaksi yang efektif dengan orang asing. Seseorang yang tinggal
pada wilayah budaya yang berbeda (lebih dari 3 bulan) terkadang menggunakan
keterampilan tersebut untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan budaya
yang berlaku di tempat tersebut. Ada 3 dimensi prilaku yang berhubungan dengan
efektifitas komunikasi.
1.
Kemampuan
untuk mengurangi ketegangan secara fisikologis.
2.
Kemampuan
berkomunikasi secara efektif.
3.
Kemampuan
untuk menjaling hubungan yang lebih bermakna.
Dimensi kemampuan untuk mengurangi ketegangan fisikologis
meliputi kemampuan untuk mengurangi (mengatur prustasi, stres, kecemasan,
tekanan, aliniasi sosial, kesulitan finansial, dan konflik antar personal.
Dimensi kemampuan berkomunikasi secara efektif meliputi kemampuan untuk
melakukan percakapan yang lebih bermakna denagn orang lain, menginisiasi dengan
oranf lain, bekerja lebih efektif dengan orang lain, dan penyesuaian diri
dengan terhapa perbedaan kebiasaan sosial. Hammer dan kelompoknya menegaskan
bahwa ketiga dimensi tersebut mempengaharui efektivitas komunikasi. Tetapi
dimensi tersebut bukan merupakan isi dari defenisi kemampuan.
Pendapat lain tentang pemahaman lintas budaya mendukung
pendapat diatas, seperti Abe dan Wisman (1983) “Replikasi” dari hammer (1978)
melakukan pengkajian dengan turis Jepang di Amerika Serikat. Penelitian Abe dan
Wisman menemukan 5 dimensi yang berhubungan dengan efektifitas , dimensi
tersebut tidak jauh beda dengan 3 dimensi sebelumnya. Perbedaan dalam penemuan
ini dapat dijelaskan secara sederhana yakni pada lamanya pengalaman seseorang
dalam budaya lain.
Penelitian dalam komunikasi yang efektif dengan orang
asing dan kompetensi antar budaya tidak tersusun secara sistematis. Memberikan
perhatian lebih untuk mengurangi ketidakpastian dan kecemasan pada saat
berkomunikasi dengan orang asing berarti kita berfokus pada faktor-faktor yang
berhubungan dengan proses komunikasi. Untuk memahami faktor-faktor tersebut ,
dibutuhkan pemahaman tentang komponen-komponen yang membentuk kemampuan
konikator.
Akhirnya
Gudykunst menyimpulkan bahwa orang yang efektif dalam berkomunikasi dengan
orang asing adalah mereka yang tidak menggunakan pespektifnya sendiri ketika
menginterpretasi prilaku orang lain dari satu budaya ke budaya lainnya. Lebih
lanjut, komunikator yang efektif menggunakan perspektif budaya ketiga yakni
yang bertindak sebagai sebuah rantai psikologis yang menghubungkan antara
perspektif budaya dan orang asing tersebut.
C. Komponen-komponen pembentuk kemampuan komunikasi
Kita mungkin memiliki motivasi yang tinggi tetapi kurang
pengetahuan dan keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif. Kita juga mungkin
punya motifasi dan pengetahuan yang tinggi tetapi keterampilan yang rendah.
Jika kita memiliki motivasi, pengetahuan, dan keterampilan, itu belum bisa
menjamin bahwa kita bisa berkomunikasi secara efektif. Ada beberapa faktor yang
mempengaharui oerilaku kita. Sebagai contoh, mungkin kita memiliki reaksi emosi
yang tinggi terhadap suatu peristiwa. Reaksi emosional tersebut akan
menyebabkan kita bertindak secara langsung diluar dari pemahaman yang telah
kita pelajari sebelumnya. Jika seseorang tidak dapat mengontrol emosinya maka
orang lain akan menilainya sebagi orang yang tidak memiliki kompetensi dalam
komunikasi.
Lawan bicara pada saat berkomunikasi bisa saja menjadi
salah satu faktor yang dapat membentuk kemampuan komunikasi kita. Jika lawan
bicara mengatakan bahwa kita tidak memiliki kompetensi maka kita akan berusaha
berperilaku sebagai orang yang tidak kompeten dalam berkomunikasi. Kita bisa
saja berperilaku secara efektif tanpa pemahan tentang cara meniru perilaku
orang lain. Proses ini bisa dapat dilakukan pada saat kita sedang berkomunikasi
dengan orang yang memiliki perilaku yang berbeda jika tidak memiliki pemahaman
dengan orang tersebut, tapi ini bukanlah strategi terbaik. Hal ini menegaskan bahwa “pengetahuan tanpa keterampilan tak dapat digunakan
dalam kehidupan sosial, dan keterampilan tak dapat tumbuh tanpa kemampuan
memahami permintaan permintaan dan paksaan situasi.
Motivasi, pengetahuan, dan keterampilan saling
berinteraksi atau mempengaharui dalm jasil komunikasi dengan oran glain untuk
memperluas kemampuan persepsi kita. Ada 2 hasil yang mungkin terjadi yakni
perilaku kita dipandang tepat ataukah efektif. Hasil lain yang mungkin bisa
dicapai adalah meliputi ketertarikan antar personal, kepercayaan, kepuasan terhadap
komunikasi, meningkatkan hubungan antar personal, konflik, resolusi, adaptasi,
denagn budaya lain, dan pengembangan komunitas.
Spitaberg
dan Cupach (1984) membatasi tiga komponen utama dari kemampuan komunikasi itu
yakni motivasi, pengetahuan, dan keterampilan. Motivasi merujuk pada keinginan
kita untuk berkomunikasi secara tepat dan secara efektif dengan orang lain.
Pengetahuan merujuk pada kesadaran kita dalam memahami apa yang mesti dilakukan
untuk berkomunikasi
secara tepat dan efektif. Sementara, keterampilan adalah kemampuan kita untuk
bertindak dalam perilaku-perilaku yang dibutuhkan untuk berkomunikasi secara
tepat dan efektif.
1. Motivasi
Menghindari kecemasan atau kegelisahan adalah motivasi
faktor penting dalam komunikasi dengan orang lain. Kecemasan antar kelompok
adalh rasa takut yang berlebihan atas konsikuensi negatif yang mungkin terjadi
qpada saat berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budaya. Jika kecemasan
kita semakin meningkat, maka kita akan sangat membutuhkan pemikiran yang
rasional, dan konsep diri yang baik untuk memahami situasi.
Kecemasan yang semakin tinggi akan membuat kita menghidari komunikasi dengan
orang asing.
Kombinasi antara keinginan untuk mengurangi kecemasan dan
keinginan untuk mempertahankan konsep diri akan membuat kita akan mendekati
ataukah menghindari tujuan hubungan antar kelompok. Kebanyakan orang ingin
menjadi orang tidak dinilai buruk dan perhatian. Tetapi bagaimanapun kita ingin
berkomunikasi dengan orang asing untuk memperthankan konsep diri kiat.
Kebanyakan orang lebih memilih menghabiskan waktu untuk
berinterkasi dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Interkasi
langsung dengan orang yang berbeda latar belakang dengan kita sangat terbatas. Jika tujuan kita dalam berkomunikasi dengan orang asing tidak
tercapai dan kita tak mampu keluar dari situasi tersebut denganmudah, maka
ketdaksabaran kita buth untuk mengelompokkan masukan-masukan yang menyebabkan
terjadinya ketidakpuasan. Hal ini akan membimbing kecemasan tentang diri dan
pemahaman kita pada pengelompokkan konteks. Hal terpenting
yang mesti diketahui bahwa kita dapat mengatur atau mengurangi kecemasan kita
secara sadar melalui peningkatan perhatian atau tolernsi pada hal-hal yang dianggap
ambingu dan berfikir dengn baik pada saat berkomunikasi (telah dibahas
sebelumnya).
Bellah, madsen, sulvivan, swidler, dan tipton (1985)
menerangkan bahwa kita perlu untuk memperhatikan kemampuan pengetahuan kita
secara umum karena “ dengan pemahaman secara eksplisit tentang apa yang kita
ketahui dan tujuan yang ingin dicapai bersama, maka mita dapat mengurangi
perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan perselisihan pada saat
berkomunikasi” (P. 287) dengan mengetahui tingkat pengetahuan kita, maka kita
akan menilai/berfikir dengan baik (mindfull prejudices). “Rasisme, seksisme,
homopobia, agama, dan tidak toleran pada suatu budaya......adalah cara
menyangkal bahwa semua orang adalah sama sengan kita”.
Penelitian langer menerangkan bahwa kepuasan atas rasa
keingintahuan tiap individu tentang perbedaan-perbedaan dan pemahaman dapat
terjadi. Dia berpendapat bahwa rasa keingintahusan itu adalh salah satu jalan
untuk berfikir lebih hati-hait tentang perbedaan –perbedaan, dan hal tersebut
bukan hal yang sifatnya tabu. Salah satu cara agar kita masing-masing dapat
menggunakan proses berfikir yang lebih baik dalam komuniakasi adalah dengan
menerima pernyataan-pernyataan orang laintentang kita dan kelompok kita sebagai
informasi sampai kita memahami adanya motivasi yang lain dalam komunikasi.
Kita juga dapat terbuka dengan informasi baru dengan
memperbaiki kembali pengharapan kita. Sebagai contoh, kita harus fleksibel,
terhadap stereotip negatif dari kelompok lain. Kita juga dapat mengubah isi
stereotip atau menganggapnya biasa-biasa saja. Harvey, Hunt, dan Shorder (1961)
menegasakan bahwa orang-orang memiliki tingkat kemaluan/kebijakan yang berbeda
untuk mengubah stereotip yang melekat pada dirinya, atau dengan kata lain,
tingkat keterbukaan-ketertutupan terhapad stereotip mereka. Dalam menerapkan
konsep ini untuk berintraksi lintas simbol/ lambang nasional, Hal ini menerangkan bahwa:
Image (kesan) akan “tertutup” pada tingkatan dimana
seseorang terlalu menghormati sifat-sifat yang melekat dalam sebuah objek...
semakin “terbuka” suatu image maka orang-orang akan semakin tertarik untuk
memahami atau mengetahui sifat-sifat yang melekat pada suatu objek yang belum
dikenali sebelumnya, dan sifat-sifat lain yang diketahui akan menempatkan persamaan
& perbedaan dala hubungan dengan objek,.
Berpegang pada stereotip secara tertutup akan berkaitan
secara langsung dengan munculnya ketidaktepatan pemaknaan dan prediksi tentang
prilaku orang asing. Sedangkan bersikap terbuka pada stereotip akan
meningkatkan ketepatan dalam memaknai dan memprediksi prilaku orang asing.
Secara spesifik, jika stereotip kita bersifat terbuka, maka kita akan membuka
persepsi prilaku yang tidak berhubungan dengan stereotip, hal itu akan
memungkinkan kita untuk memaknai dan memprediksi prilaku orang asing dengan
tepat. Kita juga harus memperhatikan apakah stereotip yang kita dapat berlaku
pada banyak orang atau berlaku pada semua dalam satu kelompok.
2. Pengetahuan
Jenis
pengetahuan yang sangat berperan dalam membangun komunikasi yang efektif adalah
pengetahuan dan kemampuan kita berbicara dalam bahasa orang lain dan
pengetahuan kita tentang budaya orang lain. Pengetahuan budaya ini dan
bagaimana mereka berbeda dan sama dengan budaya kita memiliki efek langsung
dalam mempengaruhi prediksi dan interpretasi kita terhadap perilaku orang lain.
Jika kita tidak tahu apa-apa maka sangat mungkin kita membuat prediksi dan
interpretasi yang tidak akurat tentang budaya orang lain.
Aspek lain dari pengetahuan yang dapat mempengaruhi
interaksi yang efektif dengan orang asing yakni pemikiran kita tentang prilaku
manusia. Sangat berbeda antara pemikiran tentang prilaku manusia. Singkatnya,
pernakah anda membaca buku kimia yang pembukaannya tentang “oxigen 15 great”!?
mungkin tiodak pernah. Tapi anda mungkin pernah membaca buku yang pembukaannya
seperti “orang jepang (ataukah membaca buku yang permulaannya dimulai dengan
(oxigen is great), anda mungkin akan langsung meninggalkannya. Sebaliknya, jika
kamu mengambil buku yang permulaannya diawali dengan (orang jepang sangat
peramah), anda mungkin tidak akan berfikir yang lain dan akan melanjutkan
membacanya, jika kamu berhenti membaca dan berfikir sejenak, anda akan
menemukan bahwa kedua kalimat tersebut tidak berpengaruh dengan pemahaman kita
terhadap prilaku khusus yang kita pelajari. Keduanya tidak menjelaskan kepada
kita tentang prilaku oksigen dan orang jepang : tetapi keduanya hanyalah cara
menulis untuk memaknai dan mengevaluasi suatu prilaku.
Ada 3 proses kesadaran yang saling berhubungan dalam
pembahasan ini : penggambaran (deskription), pemaknaan (interpretation), dan
penilaian (evaluation) (Wendt, unclated). Komunikator yang efektif pastinya
akan membedakan 3 proses ini, sedang komunikator yang tidak efektif tidak akan
membedakan ketiganya. Melalui penggambaran (description) kita akan memahami
laporan aktual tentang apa yang sudah kita observasi dengan tingkat ganguan
yang rendah dan tanpa melekatkan sifat sosial pada suatu prilaku. Deskripsi
meliputi apa yang kita lihat dan dengar dan disatukan dalam suatu catatan
observasi.
Untuk menjelaskan proses ini, kita menggunakan contoh
berikut :
Deskrpsi
Seorang guru sedang duduk diatas meja, memakai celana
jeans yang ketat sudah luntur.
Pernyataan diatas adalah deskripsi yang sifatnya alami.
Tidak ada penambahan sifat sosial didalamnya, hanya mengungkapkan apa yang
dilihat oleh observer. Jika kita menambahkan aspek sosial dalam pernyataan
tersebut, maka kita akan terikat dalam suatu pemaknaan. Dengan kata lain,
pemaknaan adalah pemikiran kita terhadap sesuatu yang kita lihat dan dengar.
Hal penting yang mesti diingat adalah beragam pemaknaan dapat muncul pada satu
deskripsi prilaku, contoh yang lain adalah sebagai berikut :
Deskripsi
Seorang guru sedang duduk diatas meja, memakai jeans yang
sudah luntur.
Pemaknaan
Guru itu suka penampilan informal (santai)
Guru itu tidak peduli tentang penampilannya
Guru itu tidak mengikuti aturan dalam berprilaku
Guru itu tidak punya uang yang cukup untuk membeli pakain
yang lebih Bagus.
Tentu saja, berbagai penilaian dapat terjadi, tetapi
kedua pemaknaan tetrsebut dapat menjadi potensi dalam perbedaan antar budaya.
Di amerika serikat, penilaian pertama sudah menjadi sesuatu yang biasa karena
kebiasaan informal dalam sitem pendidikan mereka. Tetapi bagi budaya yang lain,
penilaian kedua dianggap lebih tepat. Di jepang misalnya, para guru diharapkan
berpenampilan sesuai dengan pekerjaannya dan seorang gurui duduk diatas meja
dianggap sebagai prilaku yang tidak pantas untuk diterapkan.
Jika kita tak mampu membedakan ketiga proses ini, itu
sama saja dengan menghapus proses deskripsi dan lompat pada proses pemaknaan
atau penilaian ketika mengalami kesulitas dalam menghadapi prilaku yang
berbeda. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman makna dan menghasilkan
komunikasi yang tidak efektif. Kemampuan membedakan 3 proses ini akan membuat
kita mampu memahami makna alternatiof terhadap prilaku orang asing dan
menghasilkan efektifitas komunikasi. Selain itu, kita dapat mempredikasi secara
tepat tentang prilaku ornag asing, jika kita mampu menggambarkan prilaku orang
asing, kita akan memprediksi prilakunya scara tepat karena kita dapat melihat
pula prilaku alternatifnya.
Ada 5 prinsip terapi kesadaran (kognitif) yang
berguna untuk memahami bagaimana kesalahan interpretasi dapat terjadi:
- Kita tidak pernah tahu tentang pikiran, sikap, perasaan orang lain
- Kita tergantung pada signal yang pada dasarnya bersifat ambigu
- Kita hanya menggunakan system kode kita
- Bergantung pada cara pandang sendiri serta pada waktu tertentu
- Tingkat kepercayaan kita dalam mendefinisikan perilaku orang lain tidak didasarkan pada analisa yang akurat dan aktual.
3. Keterampilan
Keterampilan
dalam komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan untuk mengurangi kegelisahan
dan ketidakpastian kita. Ada dua cara atau langkah untuk mengarungi
ketidakpastian dan kegelisahan yakni: berfikir dengan baik (hati-hati) dan
lebih memperhatikan hal yang dianggap masih ambigu. Untuk mengurangi ketidakpastian
kita, dibutuhkan minimal 3 keterampilan: empati, perilaku yang fleksibel, dan
kemampuan untuk megurangi ketidakpastian itu sendiri.
Langer (1989) mengemukakan beberapa cara untuk
meningkatkan proses berfikir (kehati-hatian) dalam komunikasi yakni: (1)
Membuat kategori (pengelompokan) baru, (2) Terbuka terhadap informasi baru, dan
(3) Memahami lebih dari satu perspektif (p.62). Dia menegaskan bahwa proses
pengelompokan (kategorisasi) adalah aktifitas manusia yang tumbuh seacar alami.
Hal itu adalah cara untuk lebih memahami dunia.
Langer
mengemukakan bahwa hal yang kita butuhkan adalah belajar lebih banyak tentang
berbagai perbedaan manusia. Untuk mengilustrasikannya, Langer memberi contoh orang
yang dikategorikan sebagai ”orang pincang”. Jika kita melihat semua orang yang
ada dalam kategori ini adalah sama, berarti kita telah mulai untuk
mengelompokkan orang berdasarkan identitasnya. Jka kita menggambarkan perbedaan
lain dalam kategori ini (membuat kategori baru), disisi lain kita tidak akan
mengkategorikan seseorang dalam pengelompokan sebelumnya. Jika kita hanya
melihat orang yang memakai ”celana puntung”, kita tak mesti mengkategorikan
mereka sebagai orang ”pincang”.
Bersikap
terbuka pada informasi baru dan memahami lebih dari satu persepsi berarti kita
akan lebih fokus pada proses komunikasi bukan pada hasil komunikasi. Langer
menegaskan bahwa:
Berfokus pada hasil komunikasi akan menyebabkan ketidakhati-hatian/ketidakpahaman.
Karena kita mersa tahu bagaimana cara menangani situasi, kita tak akan memberi
perhatian lebih. Jika kita menanggapi situasi tertentu dengan cara yang biasa,
kita hanya akan dapat hal-hal kecil dalam memahami proses komunikasi. Di sisi
lain, jika situasi tersebut menjadi kacau, maka kita kan sulit memahami dan
menanganinya karena lemahnya pemahaman kita terhadap perilaku orang lain dalam
proses komunikasi. Dalam hal ini, kita telah gagal (lemah dalam berfikir) dalam
menanggapi situasi tertentu meskipun kita mungkin telah banyak berfikir tentang
hasil yang diharapkan dari komunikasi. (p.34).
Langer yakin bahwa berfokus pada
proses komunikasi akan meningkatkan kesadaran dalam berprilaku dan lebih
perhatian terhadap situasi dimana kita dapat menemukan diri kita sebenarnya. Hanya
dengan berfokus pada proses komunikasi, kita akan dapat membedakan perbedaan
pemaknaan yang kita lakukan dengan pemaknaan yang dilakukan orang lain terhadap
suatu pesan.
Kita sering berprilaku lebih
hati-hati pada saat berkomunikasi dengan orang asing karena mungkin perbedaan
cara berpakaian atau karena kita tidak tahu petunjuk cara berkomunikasi dengan
mereka. Masalahnya adalah kita lebih sering berfokus pada hasil yang ingin
dicapai daripada berfokus pada proses komunikasi. Jika kita telah mampu
memaknai perilaku orang lain berdasarkan kerangka berfikir kita, maka untuk
berkomunikasi secara efektif dengan orang asing, kita butuh lebih berfokus pada
proses komunikasi, bahkan ketika kita menjalin hubungan yang lebih akrab dengan
mereka. Kita tidak perlu mengharpakan semua orang untuk berfikir hati-hati
setiap saat karena hal itu mustahil dilakukan. Kita hanya mengingatkan bahwa kesalapahaman
dapat terjadi dalam komunikasi. Ketika hal itu terjadi, maka kita harus lebih
fokus memperhatikan proses komunikasi yang terjadi.
Ketika kita berfikir dengan cermat
maka kita dapat meningkatkan efektifitas komunikasi yang kita lakukan. Kita
dapat menegosiasikan makna dengan orang lain. Negosiasi makna meliputi proses
klarifikasi (memahami) makna dalam percakapan ketika terjadi kesalahpahaman
(Varonis & Gass, 1985). Tehnik lain yang bisa digunakan jika tejadi
kesalahpahaman adalah ”melakukan pengulangan/repair”. Repair (pengulangan)
dapat dilakukan dengan meminta orang lain mengulangi apa yang sudah
dikatakannya ketika kita belum paham (Gass & Varonis, 1985).
Negosiasi makna dan pengulangan
adalah bentuk dari metakomunikasi – berkomunikasi tentang apa yang kita telah
komunikasikan (metacommunication). Aspek lain dari metakomunikasi yang relevan
dengan proses berfikir dengan baik (mindfull) adalah feedback (umpan balik). Hal
lain yang erat kaitannya dengan proses berfikir dengan baik adalah proses
mendengarkan secara efektif. Untuk dapat mendengarkan secara efektif, maka kita
harus berfikir dengan baik pada saat berkomunikasi.
Keterampilan kedua yang dibutuhkan
untuk megatur kecemasan/ketidakpastian kita adalah tolerasi (perhatian)
terhadap hal-hal yang dianggap masih ambigu. Tolerasi (perhatian) terhadap
hal-hal yang dianggap masih ambigu menghasilkan kemampuan untuk memahami
situasi dengan baik meskipun banyak informasi yang dibutuhkan dalam
berkomunikasi secara efektif tidak dipahami. Menurut ruben dan Kealey (1979):
Kemampuan untuk berreaksi pada situasi yang ambigu dan
baru dengan sedikit kegelisahan adalah sebuah potensi yang penting untuk
menyesuaikan diri dengan budaya baru... Kegelisahan yang berlebihan muncul dari
lingkungan yang baru dan berbeda dari sebelumnya atau karena adanya perubahan
lingkungan yang sebelumnya kita sudah kenal, hal ini dapat menyebabkan
kebingungan, frustasi, dan permusuhan antar personal. Beberapa orang dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan yang baru dengan mengubah
cara pergaulan dalam lingkungan. (p.19)
Ruben dan Kealey menegaskan bahwa
orang yang lebih toleran (perhatian) terhadap sesuatu yang ambigu dapat meyesuaikan
diri secara efektif dengan budaya yang baru daripada orang yang memiliki
toleransi yang rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki
toleransi tinggi terhadap sesuatu yang dianggap masih ambigu akan dapat
berkomunikasi secara efektif dengan orang asing daripada orang yang memiliki
toleransi yang rendah terhadap sesuatu yang ambigu.
Hal yang berkaitan dengan sikap
toleransi terhadap sesuatu yang ambigu adalah prasangka dan sikap etnosentris. Etnosentrisme
adalah pahaman yang menganggap bahwa kelompok sendiri sebagai kelompok yang
paling utama daripada kelompok yang lain dan selalu membuat penilaian terhadap
sesuatu yang ada disekitarnya berdasarkan pandangan kelompoknya. Orang yang
memiliki toleransi yang rendah akan bersikap etnosentris dan selalu
berprasangka. Sedangkan, etnosentris dan prasangka tidak berhubungan dengan
efektivitas komunikasi dengan orang asing. Etnosentris dan prasangka hanya akan
membuat kita memaknai orang asing berdasarkan prespektif budaya kita sendiri. Dengan
kata lain, sikap etnosentris dan prasangka yang berlebihan membuat orang-orang tak
dapat memahami pemaknaan dan penilaian perilaku orang asing. Untuk memahami
perilaku komunikasi orang asing, kita mesti menggunakan prespektif budaya
mereka, bukan budaya kita sendiri. Selain itu, kita mesti mendahulukan sikap
empati (keterampilan utama dalam mengurangi ketidakpastian) daripada sikap
simpati.
Simpati adalah ”membayangkan tentang
posisi diri kita berdasarkan penilaian orang lain” (Bennett, p.411). Simpati
sama dengan sikap etnosentris, menggunakan kerangka/prespektif kita sendiri
dalam memaknai rangsang baru dan berbeda. Menurut Bennett, jika kita menerapkan
Golden Rule (berprilaku pada orang lain berdasarkan kemauan/keinginanmu
sendiri) dalam berinteraksi dengan orang asing, maka kita akan menjadi orang
yang simpatik karena kita hanya menggunakan standar perilaku sendiri dalam
berprilaku dengan orang asing. Sedangkan empati adalah berupaya memahami
pengalaman/perasaan orang lain. Prespektif yang digunakandalam empati bukanlah
prespektif kita tetapi prespektif orang asing. Bennet mengajukan hal yang
berbeda dengan Golden Rule yakni, Platinum Rule, yang berarti mendahulukan
empati daripada simpati (berprilaku pada orang lain berdasarkan apa yang
diinginkan oleh orang tersebut) (p.422). singkatnya, menggunakan simpati dalam
berinterkasi dengan orang asing bisa saja lebih banyak mengakibatkan
kesalahpahaman daripada kesepahaman. Sedangkan penggunaan empati akan
meningkatkan kesepahaman dengan orang lain.
Empati adalah faktor penting untuk
menciptakan komunikasi yang efektif, bukan saja di Amerika tetapi juga pda
budaya yang lain. Sebagai contoh, Hwang, Chase, dan Kelly (1980) menyimpulkan
bahwa:
Orang Amerika, orang Cina Amerika, dan orang cina secara
keseluruhan saling berbagi tentang beberapa pandangan dasar dalam menciptakan
efektifitas komunikasi antar personal. Dimensi empati menjadi faktor paling
penting dalam pandangan mereka. Sekali lagi ditegaskan bahwa mungkin tak ada
faktor yang lebih penting dari empati dalam membangun hubungn interaksi manusia
yang efektif. (p.76)
Karakteristik khusus yang melekat
dengan empati dalampembahsan ini adalah ”mendengarkan dengan baik (hati-hati)
terhadap apa yang dikatakan orang lain”, ”berupaya memahami perasaan orang
lain”, ”menunjukkan ketertarikan dengan apa yang orang lain katakan”, ”kepekaan
terhadap kebutuhan orang”, dan ”memehamidengan mudah pokok pembicaraan orang
lain” (p.74).
Keterampilan kedua yang dibutuhkan
untuk mengurangi ketidakpastian adalah perilaku yang fleksibel. Untuk dapat
memahami informasi dan beradaptasi dengan orang asing maka kita harus
berprilaku fleksibel. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahsan tentang
pengetahuan, kita mesti mampu memilih strategi yang tepat untuk dapat memahami
informasi dan beradaptasi dengan orang asing agar dapat berkomunikasi secara
efktif dengan mereka.
Kita juga mesti mampu beradaptasi
dan mengakomodasi perilaku kita terhadap kelompok yang lain jika ingin sukses
dalam berinteraksi dengan mereka. Salah satu aspek penting untuk beradaptasi
adalah kemampuan berbicara dengan menggunakan bahasa orang lain (seminimal
mungkin mampu menggunakan frase bahasa lain). Jika kita hanya mengharapkan
orang asing berbicara menggunakan bahasa kita maka akan sulit tercipta komunikasi
yang efektif dengan mereka. Triandis (1983) mengemukakan bahwa pentingnya
menggunaka bahasa orang lain tergantung pada situasinya, stidaknya ketika anda
berada pada:
Beberapa budaya orang asing tertarik untuk megetahui
bahasa lokal. Orang Prancis yang datang ke Amerika Serikat tanpa kemampuan
barbahasa inggris atau orang amerika yang datang ke Prancis tapi hanya mampu
sedikit berbahasa prancis akan berusaha memahami bahasa lokal. Sebagai contoh,
saya mendapatkan pengalaman yang berbeda dari teman saya pada saat di Paris. Dia
menemukan banyak ketidaksopanan orang Prancis sedangkan saya menemukan orang
prancis yang cukup sopan. Perbedaannya adalah saya berbicara lebih baik dengan
orang prancis dibandingkan wisatawan pada umumnya. Dalam budaya lain, para
wisatawan tidak diperkenankan mengetahui bahasa lokal. Sebagai contoh, di
Yunani, orang asing tidak dizinkan untuk mengetahui bahsa yunani meski hanya
sedikit, hal ini dianggap sebagai hal yang normal bagi masyarakat setempat.
(p.84)
Beberapa tujuan
dalam penggunaan bahasa lokal adalah untuk mengenali kegemaran/kesukaan
orang-orang dan budaya ditempat tersebut.
Hal yang dibtuhkan agar dapat
menyesuaikan perilakuk tidak terbatas hanya pada penggunaan bahsa orang lain
pada saat berbicara. Kita juga perlu untuk menyesuaikan perilaku non verbal
kita. Jika kita hanya menggunakan aturan kita dalam berkomunikasi, maka akan
timbul kesalahpahaman pada saat berkomunikasi dengan orang asing.
Keterampilan terkahir yang kita
bahas adalah kemampuan untuk mengurangi ketidakpastian itu sendiri. Jika kita
berprilaku fleksibel kita akan mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk
mengurangi ketdakpastian kita. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan
sebelumnya, mengurangi ketidakpastian berarti kita mampu untuk menggambarkan
perilaku orang lain, menggunakan pemaknaan yang tepat terhadap pesan yang
mereka sampaikan, memprediksi perilaku mereka dengan tepat, dan mampu
menjelaskan perilaku mereka. Jika kita juga mampu mengontrol kecemasan kita,
maka kemampuan-kemapuan diatas dapat digunakan untuk berkomunikasi secara
efektif dengan orang asing.
D. Mengatur konflik dengan orang lain
Konflik
dapat terjadi dalam berbagai hubungan. Konflik pada dasarnya bisa bermakna
positif dan bisa bermakna negatif. Cara kita mengatur konflik dalam hubungn
dengan orang lain memiliki konsekunsi positif dan negatif.
Thomas
(1983) mendefinisikan konflik diadik sebagi proses yang dimulai ketika satu
bagian merasa bahwa orang lain itu frustasi. Definisi ini meliputi fenomena
secara luas. Konflik dapat muncul melalui sumber instrumental (seperti;
perbedaan tujuan dan tindakan) atau dari ekspresi (seprti;
keteganga/perselisihan, atau biasaya karena permusuhan)
Dalam
mengatur konflik dengan orang asing, kita perlu membangun apa yang disebut oleh
Gibb (1961) sebagai supportive climate. Ada
beberapa karakteristik dari supportive
climate adalah sebagai berikut:
Karakteristik
pertama adalah melakukan deskripsi kemudian melakukan penilaian. Kita tidak dapat
memahami seseorang jika kita menilai mereka terlebih dahulu sebelum memahami
posisi mereka. Dengan deskripsi yang tepat, kita akan memahami bagaimana cara
orang lain memaknai sesuatu yang terjadi.
Karakteristik
kedua adalah memahami masalah tujuan yang sebenarnya. Memahami masalah bersama
dan berupaya mendapatkan solusi agar didapatkan hasil/tujuan yang didinginkan
dalam berkomunikasi. Kita mungkin telah memikirkan tujuan yang ingin dicapai
dan kita berupaya memahamkan tujuan tersebut pada orang lainkemudian kita
beusaha mengontrol orang tersebut. Tetapi terkadang hal ini mendapatkan
pertentangan dari orang lain.
Karateristik
ketiga adalah menggunakan spontanitas sebagai bagian dari strategi. Jika kita
tampak menyembunyikan motif dan berperilaku pada orang lain dengan strategi
tertentu, maka akan menimbulkan sikap
defensif pada orang lain. Tetapi, jika orang lain bersikap spontan tanpa
strategi pada kita maka kita tiadak akan bersikap defensif.
Karakteristik
keempat adalah empati. Jika kita berempati dalam komunikasi dengan orang lain,
maka mereka akan tahu bahwa kita fokus pada apa yang ia katakan. Jika orang
bersikap netral pada kita maka kita akan bersikap defensif.
Karakteristik
kelima adalah kesetaraan (merasa kedudukannya sama pada saat berkomunikasi). Jika
kita berbicara seolah-olah menjadi sesuatu yang superior, maka orang lain akan
bersikap defensif pada kita. Jika kita ingin mengatur konflik dengan orang
asing, kita mesti mendekatkan persamaan-persamaan yang dimiliki dan lebih
sensitif serta memposisikan diri kita setara dengan mereka.
Karaketristik
yang terakhir (keenam) adalah provisionalisme. Jika kita berkomunikasi dengan
orang lain, maka kita terbuka terhadap sudut pandang mereka dan ingin
berinteraksi dengan perilaku kita. Dengan demikian orang lain tidak akan
bersikap defensif. Di sisi lain, jika kita berkomunikasi dengan menampakkan
bahwa sikap dan perilaku kitalah yang paling benar dan pasti maka orang lai
akan bersikap defensif.
Karakteristik
diatas pastilah sangat sering kita dengarkan. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya
sama. Gibbs dan Langer memeiliki pendapat yang sama bahwa sikap dalam mengatur
konflik mesti berdasarkan pertimbangan/pemikiran yang cermat (mindfull). Agar
dapat berfikir dengan cermat maka kita harus membuat kategorisasi/pengelompokan
baru (diperlukan untuk membuat suatu penggambaran sikap dan perilaku orang
lain), bersikap terbuka atas informasi baru, tidak cepat yakin sebelum
mendapatkan informasi yang valid. Hal ini akan lebih berfokus pada proses
komunikasi bukan pada hasil yang diinginkan dari komunikasi.
Roger
Fisher dan Scott Brown (1988) dalam Proyek Negosisasi Harvard menegmukakan
beberapa pendekatan yang berhubungan dengan negosiasi. Asumsi awal mereka
adalah bahwa setiap orang dapat mengubah suatu hubungan. Jika kita mengubah
tindakan kita terhadap orang lain, mereka juga akan mengubah tinadakannya pada
kita. Tujuan dari perubahan sikap/tindakan tersebut dalah terciptanya suatu
hubungan yang saling menerima berbagai perbedaan (p.3). melakukan perubahan
berarti kita memisahkan suatu hubungan dengan berbagai masalah kemudian memahamkan
tujuan yang ingin dicapai dalam tiap kondisi komunikasi.
Fisher
dan Brown mengemukakan pendapat tentang negosiasi efektif. Pendapat mereka
sederhana, mereka yakin bahwa kita harus selalu bersikap konstruktif. Intinya
bahwa kita mesti:
Lakukan sesuatu yang baik untuk suatu hubungan dan baik
bagi diri kita, meskipun orang lain tak membalas kebaikan kita.
1.
Rasionalitas.
Meskipun orang lain bertindak orang lain,kita mesti menyeimbangkan emosi kita
dengan pertimbangan yang tepat.
2.
Kesepahaman.
Meskipun orang lain salah paham terhadap kita, tetapi kita harus tetap bisa
memahami mereka
3.
Komunikasi.
Meskipun mereka tidak mendengarkan dengan baik, tetapi kita mesti membimbing
mereka sebelum memutuskan sesuatu yang dapat berpengaruh bagi mereka.
4.
Dapat
dipercaya. Meskipu orang lain beupaya menipu ataupun tidak percaya pada kita,
tetapi kita tetap berusaha mempercayai mereka. Jadilah orang yang dapat
dipercaya.
5.
Tidak
memaksa orang untuk memepengaruhi. Meskipun orang lain memaksa kita, tetapi
kita tetap berupaya mendekati orang dengan cara yang lebih persuasif.
6.
Penerimaan.
Meskipun orang lain menolak kita, tapi kita berupaya menerimanya, peduli
terhadap mereka, dan bersikap terbuka untuk berinteraksi dengan mereka.
Hanya
sedikit orang yang dapat menerapkan keenam hal tersebut dalam komunikasi
sehari-hari dengan orang lain. Untuk menerapkan petunjuk-petunjuk Fisher dan
Brown, kita mesti berfikir dengan baik (mindfull).
RINGKASAN
Komunikasi
yang efektif adalah upaya untuk mengurangi kesalahpahaman. Dengan kata lain apa
yang dikatakan oleh komunikator dapat di maknai oleh komunikan. Untuk dapat
berkomunikasi secara efektif maka kita mesti memperhatikan 3 hal yakni,
motivasi, kemampuan, dan keterampilan komunikasi. Kita harus memiliki motivasi
yang tinggi dalam melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan orang asing. Kita
harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi untuk memngurangi/menghilangkan
kesecmasan dan ketidakpastian. Untuk mengurangi kecemasan, kita harus berfikir
lebih hati-hati dan bersikap toleran/perhatian terhadap hal-hal yang dianggap
masih ambigu. Untuk mengurangi ketidakpastian, kita mesti bersikap empati,
fleksibel, dan menggunakan keterampilan untuk memahami pengetahuan dan budaya
serta etnisitas orang lain ketika dibutuhkan.
Konflik
bisa saja terjadi pada saat kita berkomuikasi dengan orang asing. Konflik dapat
berdampak positif ataupun negatif. Cara untuk mengatur konflik adalah hal yang
sulit. Untuk mengatur secara konstruktif dan berkomunikasi secara efektif maka
kita harus memahami kondisi orang yang berkonflik dengan kita dan berupaya
membangun suasana yang dapat mendukung penyelesaian konflik.
Daftar Pustaka
Fisher, B Aubrey. 1978.
Teori-Teori Komunikasi. Remaja
Risdakarya.
Triandis, H. C. (1977). Interpersonal Behavior. Monterey, Calif.: Brooks/Cole Pub. Co.
Triandis, H. C. (1980). Values, Attitudes, and Interpersonal Behavior. In
University of Nebraska (Lincoln campus). Dept. of Psychology. (Ed.), Nebraska
Symposium on Motivation (pp. 196-259). [Lincoln, Neb.]
Y kim 1991 Communication
with strangers: An approach to intercultural communication. New
York:McGraw,Ltd.
Gudykunst, William B. 1991. Bridging Differences-Effective intergroup Communication.
London:Sage Publication.
Bennet, Milton J. (2003). ”Mengatasi Kaidah Emas: Simpati dan Empati” dalam Deddy Mulyana
& Jalalauddin Rakhmat [eds]. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung:
Remaja Rosda Karya
Gass, S. M & E. M. Varonis (1984). “Task Variation and Nonnative/Nonnative
Negotiation of Meaning: In S. Gasss and C. Madden, eds., Input in Second
Language Acquisition. Rowley, MA: Newbury House, 1984.
Gardner, R.C. (1975). Motivation and Second Language acquisition. Canadian Modern
Language Review, 31, 218-230.
Bellah, Robert N., Richard Madsen, William M.
Sullivan, Ann Swidler, Steven M. Tipton, 1985. Habit of The Heart: Individualism and Commitment in American Life.
Berkley, Los Angles: University of California Press.
Harvey,O.J.,D Hunt & H.Schroder. 1961. Conceptual System and Personality
Organization. New York; Wiley.
Langer, Susanne K. Terjemahan F. X. Widaryanto.
1988. Problematika Seni. Bandung:
ASTI.
Gibb, J. (1961). Defensive
communication. Journal of Communication, 11, 141-148
Fisher, Roger dan Brown, Scott. Getting Together: Building a Relationship that Gets to Yes. New
York: Penguin Books, 1988
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus